Selasa, 30 September 2014

aku....

Mungkin memang seharusnya seperti ini adanya...
Sendiri dan sepi...
Menghilang di antara keramaian...
Namun tak seharusnya terjebak dalam puing-puing kegelisahan...
Karena hanya akan kembali menimbulkan perdebatan...
Yach perdebatan antara hati dan pikiran...
Pikiran yang hanya mengutamakan logika...
Tanpa menelisik sedikit ke dasar hati yang kesedihan....
Sedang hati yang telah mati pun hanya memikirkan bagaimana menciptakan sunyi...
Tak ada gairah untuk menengok pikiran yang kalut...
Bagaimana ini terus berlanjut???
Jika hati dan pikiran tak pernah bisa bersatu???
Perang batin selalu berkecamuk..
Bahkan kian hari kian sadis...
Hingga mematikan pori-pori cinta yang ada di dalamnya...
Pori-pori itu telah mati..
Tak akan ada celah lagi untuk masuk...
Semua telah tertutup....
Mengapa logika ini begitu tajam???
Hingga menyayat seonggok daging itu...
Oh tuhan....seonggok daging itu tak mengerti apa-apa...
Jangan biarkan dia kalah oleh logika...
Bantu dia...selamatkan dia....
Dia pusat dari segala-galanya...
Jika dia tak ada bagaimana aku hidup????
Bagaimana aku merasakan keikhlasan...
Aku takut terbelenggu pada keegoisan...
Yang kemudian berujung pada kesombongan...
Hati.......tolong kembali hidup!!!!
Aku mohon!!!
Aku butuh kau...

Last Moment

Sesekali rindu ini mengucur deras menjadi air mata.
perlahan...., namun kemudian berhasil membuat sungai-sungai kecil di ujung pipi kanan dan kiriku.


kisah syahdu yang pernah aku tulis bersamamu dengan beragam dongeng di bawah pohon bambu
kita bercerita riang layaknya anak kecil yang tak takut kehabisan permen
tentang hari ini, di mana kau menyuarakan ambisimu merubah dunia, kau membawa serta pendukungmu, ingin menjadi petualang sejati bersamaku.
kala esok masih bisa bertemu, dengan segala kesan misteri yang diberikan oleh hidup, kau berjanji dengan segenap perasaanmu bahwa tangan ini akan selalu menggenggam erat dan berjuang menembus asa.
kemudian di masa depan, saat jingga yang kemudian tertunduk malu, dan matahari takut-takut mengintip lewat jendela mendung, kau-pun tetap tersenyum cerah seraya berlalu sambil mengajakku berlari, seakan tak pernah takut seketika hujan akan menghentikan langkah kita.
dan pada hari di mana kita berlari bersama, membelah hutan, mencari tempat bernaung kala suara amukan singa mulai terdengar.
dan kau tetap tersenyum, meski kapanpun aroma kematian dapat kapan saja mencabik-cabik kita.
bahkan saat rumput liar menghalangi langkahmu, dan membuat jeda di antara kita, kau menyibaknya tanpa peduli akan begitu banyak yang terinjak.
sesampai di padang ilalang, ketika tawa tetap renyah menembus jantung dunia, kau dan aku kembali bernyanyi, menyanyikan segala macam bait sendu, hingga lenyap sudah ketakutan itu.
namun, setiap kali aku mengingat itu, kau tertegun tak menjawab.
Pikirku "mungkin saja kau lupa" dan aku kembali dengan senyum riangku.

sesampainya di pantai, ombak itu mengejarmu, dan kau tetap tersenyum seakan tak terjadi apa-apa.
lagi, dengan langkah gontai menghampiriku, isyaratmu mengajak-ku melawan ombak.
aku tertawa meng-iya-kan.
kemudian dengan cepat, ombak itu menyeret kedua kaki kita dan selanjutnya tubuh kita terhempas meninggalkan pantai, berdebum jatuh di antara karang-karang tepian pantai.
kau tersenyum girang, seakan tak takut karang itu akan melukaiku atau bahkan akan menusukmu dengan tajamnya.
aku-pun ikut tertawa, bahkan begitu lepas hingga mengalahkan kicauan burung yang sedang transit di bibir pantai.
namun, tiba-tiba senyummu menjadi amat getir.
saat aku tahu ternyata ada luka di tangan dan kakimu.
dan darah segar mengucur deras hingga melumpuhkan persendianmu.
aku mencoba menghentikan darahmu dengan kain perca milikmu, dan kau tetap tersenyum, bahkan kali ini lebih hidup.
dan kau tak pernah tahu, itu seperti meremukkanku dalam waktu yang sama.

saat ini, tanganmu sudah sembuh namun cacat sehingga kita tak bisa lagi saling menggenggam
dan kakimu, mungkin butuh sedikit di tuntun untuk tetap bisa melangkah.
ketika itu, kita sudah saling meninggalkan satu sama lain :)

Minggu, 28 September 2014

Janji_janji

Rasa rindu itu layaknya hujan, tetap luruh meski kau telah di buat basah olehnya, ia tetap tak peduli.
bahkan menggigilmu saja seperti tiada arti, Ia tetap menerjang hingga tumpah ruah menggenangi bumi.
dan saat jeda itu datang, hanya kata tanpa makna yang mungkin bisa kau sampaikan.
kemudian pusaran rindu itu semakin menggila hingga semacam spiral tanpa ujung.
apa kau tahu bagaimana rasanya masuk dalam kumparan rindu?

gerimis kenangan menjadi saksi atas janji yang tertulis dalam kanvas
menceritakan segenap perasaan yang pernah Tuhan titipkan.
dan dunia seakan tunduk menghamba.
menyaksikan dua anak manusia, berikrar dalam "bayang Altar" atas nama cinta.
Tidak kah kau merasa itu hanya mimpi cinderella.

lantas, kemana sekarang janji itu?
akankah kau mencari hingga dunia berhenti berputar?
atau kau membiarkan saja pergi tanpa ucapan "selamat tinggal"?
mungkin janji itu telah lenyap seiring deraian ombak masa silam yang kian terhapuskan.

lantas, siapa pula pemilik janji itu?
dan kemana pemilik janji itu pergi?
bisakah kau mengumpulkan kembali serpihan janji itu dan mengembalikan pada pemiliknya.

tak perlu menangis untuk itu, kau tak pernah kalah
bahkan, jika 50 pedang sekaligus menghunusmu, kau tetap ksatria.
ingat, mungkin kau bisa berbahagia sepanjang tahun,
namun seandainya satu hari saja kau terluka, seringkali luka itulah yang lekat dalam ingatan.
dan kau tak perlu sibuk mengobatinya.