Jumat, 12 Desember 2014

:'(

Aku terlalu lupa bagaimana rasanya bersedih, sudah ku kepung hatiku dengan jutaan mentari agar mendung tak bisa masuk begitu saja tanpa izin. Bahkan jika harus menangis-pun aku sudah punya tameng untuk segera menyuruhnya diam.
Ada getir yang mengendap saat tak dapat lagi ku sentuh jemarimu, kemudian bertambah pilu ketika hanya ada gambarmu saja yang terdiam membisu di rumah kita. Rinduku tak lagi satu, ia sudah tumbuh dengan beringas setiap waktu, tanpa perlu di pupuk akarnya telah menjalar menembus dinding dan ruang terdalam hatiku. Kadang ingin mencaci Tuhan kenapa Dia lancang memanggilmu tanpa persetujuanku, namun Imanku masih utuh Ayah, Ia tetap kuat meski ribuan onak membombardir pertahananku.

9 Desember lalu adalah tahun pertama aku melewati hari kelahiranku tanpa Kau.
tak mengapa Ayah, banyak sekali yang menyayangiku dan mendoakan kesuksesanku. Kau tak perlu khawatir, aku selalu baik-baik saja.
Aku hanya ingin kau tahu Ayah, menulis cerita tentangmu tak akan pernah ada habisnya bahkan sampai kata-kata lenyap di dunia, tak kan sampai membuatku berhenti bercerita.
dan Hari ini, bolehkah aku berucap rindu? karena aku begitu merindukanmu.
aku tersengal-sengal seperti orang yang kehabisan tenaga. Tenagaku habis untuk merindukanmu.
Jika kau sedang berada bersama Tuhan sekarang, bisakah kau bisikkan pada-Nya mengenai keinginanku yang belum sempat Ia jawab??

Menyesal karena belum mampu mengukir senyum di wajah tuamu dan maaf karena belum sempat menanam bangga di hatimu.
Sudah Ayah, Aku berharap kuburmu akan selalu terang karena doa-doa yang dikirimkan oleh anak-anakmu.
Aku berdoa kau bahagia di syurga sana.
Aku Merindukanmu Ayah.......

Minggu, 07 Desember 2014

S-E-L-A-S-A

Aku sedang tidak ingin berdebat dengan perasaan, 
baru saja sekilas wajahnya menyeringai, aku sudah mau jatuh dari tangga.

Aku merasa seperti meretas pada helaian benang di atas langit, menakutkan saat melihat benang yang ku injak nyaris putus. Bagaimana jika aku terpeleset dan kemudian tersungkur. sedang menengok ke bawah saja aku tak ada nyali, membayangkan saja membuat mataku berair.
Sudah.. Aku sedang tidak ingin berbasa-basi, pasti kau juga bingung dengan maksud yang ingin aku utarakan. Begini saja, beri aku waktu untuk berfikir, cukup satu menit agar aku bisa merasakan sekali hisapan nafas dari hidungku, biarkan aku merasakan udara yang masuk berdesakan ke dalam paru-paru. Dan setelah ini mulutku akan terbuka, berkata dengan bahasa lincah yang seringkali kau dengar. Dan semoga kali ini kau tidak menutup telinga.

Mungkin kau sedikit heran, kenapa setiap selasa sore aku mendongakkan kepalaku pada pintu coklat itu. Di jam dan menit yang sama pula kau datang tepat di depanku.
Sengaja aku menunggu kedatanganmu di balik pintu itu, tapi sungguh aku tak sengaja jika menit kita selalu beriringan. 
Pasti kau tak percaya, Apa kau mulai berfikir aku dengan rinci menghitung setiap menitnya, atau jangan-jangan kau berfikir aku sudah mencatat dengan cermat pukul berapa kira-kira kau datang. Jika iya tolong hapus segera spekulasi-mu itu. Aku tidak suka hal-hal yang berhubungan dengan angka, dari dulu aku begitu muak dengan matematika. lantas bagaimana bisa aku menghitung detailnya pertemuan kita di depan pintu.
Mungkin kita berjodoh? aiihh terlalu dini berfikir seperti itu. Atau, mungkin hanya kebetulan.
Kebetulan katamu??jika iya kenapa lebih dari tiga kali. Apa itu yang bisa di sebut dengan kebetulan.

Aku akan menceritakan yang sejujurnya padamu,
tapi tunggu, pastikan tidak ada orang lain di sampingmu. Jika kau berada dalam satu ruangan maka buat ia kedap suara, karena aku tak ingin orang lain mendengar pengakuan-ku.
Baiklah, rasanya kau masih terlihat tenang, padahal aku gugup setengah mati.
kenapa posisiku mirip seperti tersangka yang di selidiki terkait tindak pidana??
Haiii. aku hanya ingin mangakui sesuatu padamu laki-laki berwajah kaku.
tak bisakah senyummu itu merekah sedikit saja.

Tentu saja bukan kabar buruk, ini akan melegakanku
sesuatu ini sudah sangat lama, sepertinya nyaris berkarat.
Kau pasti juga akan lega kan, ini akan menjawab rasa penasaranmu beberapa bulan yang lalu.
bagaimana??apa kau siap??sepertinya kau mulai ragu. perlu aku beri waktu.

Aaah kau tak ingin mendengarku, jika terlalu memekik tak apalah segera tutup telingamu.
atau begini saja, kau cukup bertukar perasaan denganku.
Bagaimana, apa kau sanggup?

Selasa, 25 November 2014

Sebulan Kepulangan-mu

Aku merasakan sesak yang tanpa di undang menjalar ke rongga dada, seperti ada oksigen yang menyusut sebagian.
Aku seperti kehilangan sesuatu, dan baru saja ku menyadari. Hari ini,  hari di mana satu bulan tepat engkau meninggalkan kami, berpulang pada pangkuan Tuhan.
Bagaimana sanggup ku jelaskan tentang perasaan ini, saat mulutku penuh ritual do'a khusus ku paketkan untukmu. Bagaimana bisa ku tahan pedih, saat semua orang asyik bercerita tentang Ayah-nya.

Aku melatih kekebalan hatiku, mengumpulkan ribuan imun agar hatiku tak mudah koyak. Dan puluhan orang memberi selamat atas kuat-nya aku.
padahal aku sendiri tak tahu, apakah aku sekuat yang mereka pikir. Seringkali aku tak mengerti dengan cuaca hatiku saat ini.

Ayah, bisakah aku mengulang hari di mana rasa sakitmu tak pernah ada. Apa Tuhan tak  mengizinkan aku menengok masa lalu. Kali ini aku tak ingin berdamai dengan kenangan, aku ingin menelannya hingga lupa bahwa kau telah tiada.
Ayah, seribu nasehatmu bisakah kau reka ulang dalam bunga tidurku. Karena aku tak ingin terbangun sendiri, tanpa mimpi.
Ayah, jika Tuhan tahu anakmu ini sedang di peluk rindu, apa yang bisa Ia sampaikan padamu. Akankah Ia kirimkan hujan sebagai salam rindu darimu.
Ayah, kehilangan ini seperti bunyi gelegar langit saat di kepung mendung. Membuatku tak sanggup mendengar apapun, menutup telinga rapat-rapat karena takut.
Ayah, Katamu aku tak perlu takut jika kehilangan sesuatu, Tuhan terlalu baik dan pasti akan menggantikan dengan yang lebih baik. Apa itu berlaku untuk saat ini?
Sudah Ayah, Aku hanya bercanda, jangan kau tanyakan itu pada Tuhan. Dia pasti punya jawaban yang sangat bijak hingga kadang tak dimengerti oleh kami, para makhluknya.

Kemudian pada tetes hujan yang berangsur turun, aku menangkapnya di tiap rintikan.
dan berharap itu rindu yang kau sulap menjadi titik hujan.
ku simpan bersamaan dengan edelweis, agar abadi kerinduan ini.
meski kadang sesak menerobos pilu, kokohnya dinding perasaanku.

Minggu, 16 November 2014

Cerita Mendung

Kau perlu tahu, mengapa aku begitu menyukai suasana mendung. karena di setiap titik mendung, aku selalu melihat lukisan dirimu meski tanpa kanvas dan cat yang mahal. Layaknya sebuah diorama, siluet wajahmu tampak nyata nyaris tak ada cacat.
aku selalu mengagumi suasana mendung, bukan hanya karena ku lihat dirimu diantaranya namun aku seperti merasakan sekelebatan hadirmu bersamaan dengan semilirnya angin. Kemudian seperti membisikkan kalimat sakti di telingaku 'Berbahagialah chan, berbahagialah meski tanpa aku'. Aku menoleh mencari sumber suara itu, tapi yang ku temukan hanyalah rintikan hujan yang mulai meluruhkan mendung.
Kita pernah berjanji sebelumnya, tak akan pernah ada kata berakhir dalam perjalanan ini, sekalipun hujan mengguyur dan menghapus semua jejak kita, Namun kita akan tetap saling menemukan.
Apa kau ingat. Bagaimana kau memaksaku menautkan kelingkingku pada kelingkingmu, yang saat itu kita yakini dengan kata sepakat.

Dan sore ini, kala matahari mengintip malu lewat jendela mendung. Saat hujan tanpa ragu menerobos pintu langit. Lagi aku kembali menemukanmu saling berpeluk dengan pekatnya awan dan tanpa permisi kau kembali mendobrak pikiranku untuk kembali mengingatmu. Entahlah, sebenarnya apa yang aku ingat tentangmu. Semua hitam putih, persis seperti memutar film jaman dulu yang sudah tak layak di saksikan.
Belum juga puas, kau kembali membisikkan kalimat basi yang dulu pernah kau katakan dan kau ulang berkali-kali 'Berbahagialah chan, berbahagialah meski tanpa aku'. Dan kali ini aku tak mau kalah, ku balas kalimatmu 'Aku bahagia. Tanpa kau-aku lebih bahagia. Tak perlu lagi kau menjadi parasit dalam pohon kehidupanku. Menempel di dunia lain-ku tanpa seizin pemiliknya, bukankah itu benalu?'.
Gerimis menghampiriku, mungkin Ia tahu bahwa makhluk kecil ini butuh penyamaran untuk tetes air matanya. Agar tak terlihat bagaimana luka ini tersimpan begitu lama, hingga bernanah. Untuk kali ini, mataku sudah terlalu tebal untuk menangis, aku sudah kehabisan stock air mata.

Setiap kali aku menamatkan cerita yang sama, padahal amat menjemukan di akhir kisah. Rasanya seperti tenggelam ke dasar laut yang tak ada dasarnya. Seperti apa jadinya? sudah ku temukan jawabannya.
Aku seperti susah beranjak dan terlalu asyik menikmati bayanganmu, meski aku sadar tak akan pernah tergenggam bahkan segera pergi bersamaan dengan reda-nya hujan sore ini.
Ku katupkan hatiku, ku beri spasi dalam hatiku. biar ku temukan kanvas kosong yang bisa ku coret-coret dengan senyuman. biar ku buat diorama baru yang tentu saja bukan kau.
Sudahkah kau mengerti? Jika Iya, segeralah lenyap dari pandanganku.
Jangan lagi berkunjung pada kenangan, karena sungguh itu telah lampau dan aku tak ingin memulasnya dengan cat yang baru.

Rabu, 12 November 2014

Hari Ini Yang Katanya hari Ayah

Apa yang sedang kau lakukan sekarang ayah? 
sedang berbincang-bincang dengan Rabb kita kah? atau sedang bermain dengan malaikat-malaikat syurga?

Hari ini di kampus teman-teman sibuk sekali dengan Handphone-nya, menelfon kesana kemari dengan Ayahnya. Ada yang tersenyum, tertawa tapi ada juga yang menangis saat mendengar suara ayahnya melalui telfon genggamnya. Dan aku hanya sebagai pengamat tanpa berkomentar.
kau tahu Ayah, sebenarnya aku juga ingin melakukan hal yang sama, yang selalu aku lakukan setiap hari sabtu atau minggu. tapi aku lupa satu hal, bahwa benda canggih itu tak mampu menembus dunia barumu.
Lalu, aku berfikir bagaimana caranya mengirim kata-kata cinta untukmu, karena ku pikir hari ini adalah hari yang tepat. Hari dimana mereka sibuk mengingat ayah mereka masing-masing, hari dimana secara ajaib membuat mereka sadar bahwa seorang Ayah adalah pahlawan dalam hidup mereka, hari dimana jutaan kata cinta menguap begitu saja melalui mulut-mulut mereka. Hari yang mereka sebut sebagai hari Ayah.

Lagi-lagi aku tak bisa menangis Ayah, bukan karena aku kuat, tapi aku hanya tidak mau mereka melihat air mataku, aku tidak ingin membagi mendung kepada mereka dan aku juga tak ingin merusak suasana mesra mereka dengan para Ayahnya.
Sampai ada salah satu temanku yang bertanya Ayah, "Ra, bagaimana kamu bisa melewati ini?kehilangan seseorang yang kamu cintai". "seandainya aku di posisimu, sepertinya aku tidak mampu sekuat dirimu, meskipun itu palsu".
Aku jawab saja, "Ini jalan terbaik untuk Ayah-ku, Aku harus bisa tersenyum karena aku yakin di sana Ayah-ku sedang berbahagia", "Bukankah kembali kepada Rabb-Nya adalah suatu KeNiscayaan hidup setiap manusia".
Bagaimana Ayah??apa jawabanku begitu Puitis?atau bahkan terlalu Rasionalis?
Semoga kau bangga dengan jawabanku Ayah, Aku membayangkan kau tersenyum sambil berkata "Anakku memang pandai sekali berkata-kata".

Di hari ini, di tanggal 12 November yang katanya adalah hari Ayah.
Beserta hujan, aku kirimkan doa-doa sebagai pelipur lara, doa-doa untuk kebahagiaanmu di syurga.
Tak perlu SMS, E-mail ataupun Surat. Cukup deruan angin sore sebagai penghantarnya.
Ayah, Rindu ini terus menggelepar bertautan dengan dentuman jantung yang terus berdetak.
Tersenyumlah Ayah, Rabb kita selalu punya cara terbaik untuk mempertemukan kita lagi.

Sabtu, 08 November 2014

Sekarang-Selamanya

Seperti yang pernah kau katakan padaku, hidup ini singkat dan kita harus pandai mewarnainya dengan warna-warna cerah. Kau tahu, aku selalu cukup dengan satu warna, bukankah kau sudah hafal warna mana yang selalu aku gunakan?
kadang kita terlalu bermanja dengan waktu, kita berharap kebersamaan ini tak pernah lapuk oleh masa. hingga aku terlalu sibuk menggenggam tanganmu, menautkan jemariku pada jemarimu. dan saat itu aku benar-benar lupa bahwa kita akan kembali menyendiri, entah aku atau kamu-dulu.

Saat ini, entah siapa yang mewarnai hidupmu, entah dengan warna apa Ia mewarnainya, semoga adalah warna kesukaanmu. dan harusnya kau senang, karena takdir menyeretmu kepada seseorang dan bukan aku.
aku selalu berdoa, semoga yang di pertemukan pertama adalah kau dan bukan aku. Tuhan tahu kau adalah tipe makhluk homo sapiens yang akan mati jika terlalu lama sendiri.
Ah setidaknya berubahlah agar tak terkesan cengeng.

Jangan di tanya bagaimana kabarku, setidaknya kau sudah hafal bagaimana aku. Yang katanya Perempuan tanpa air mata, darimana kau dapati kata canggih itu? kenapa dulu aku tak berfikir untuk bertanya alasannya. 
Mungkin itu yang membuatmu tak pernah khawatir kala meninggalkanku, setidaknya bagimu aku terlalu pandai untuk jaga diri. Tapi kau benar, aku-lah perempuan yang kau maksud itu, perempuan yang katamu-terlalu tangguh-bahkan untuk ukuran kehilangan.

Sudah selesai, aku tak perlu warna lain di hidupku. Aku sudah pernah merasa puas dengan satu warna.
kau benar, hidup ini singkat. Karena itu, ku berikan kesempatan bagi Dia-dia yang lain untuk dapat menangkap radarku.
Baiklah.. detik ini, kita cukup berdoa pada Tuhan, agar di lain kesempatan kita dapat bertemu lagi dan meluruhkan jarak yang pernah tercipta. hanya sekedar menyapa  hay dan apa kabar.
Jangan lupa, dengan radar-yang telah kita bawa masing-masing.

Rabu, 05 November 2014

R-I-N-D-U

Aku sedang tidak ingin menangis, Tuhan juga tahu kepedihan ini tak pernah bisa secara tegas meluncur bersama dengan bulir-bulir air mataku. Isakan ini tersimpan rapi dalam ruas hati terdalam. Tak banyak orang mengerti, yang mereka perhatikan hanya aku dengan senyuman yang selalu merekah di sudut bibir atau gelak tawa yang membuat geger suasana.
Aku selalu pandai menyimpannya sendiri, berpura-pura menjadi perempuan tegar yang tidak pernah mempan di hantam badai, sembunyi pada senyum yang sebenarnya getir.
padahal di setiap malam, aku selalu meringkuk pada bantal yang menjadi peredam pecah tangisku, yang menjadi muara terakhir jatuhnya airmataku, hingga menganak membentuk bercak-bercak di saat mulai mengering. Dan saat pagi, aku kembali beracting dengan paras 'baik-baik saja', seperti tak terjadi apa-apa meski gembung di sudut mataku.

Ayah, rindu ini sekarat dan  nyaris tak ku temukan obatnya. apalagi saat mengingat aku tak mampu memenuhi janjiku untuk segera wisuda.
aku selalu terguncang sendiri karena menahan sesak tanpa mau di perhatikan.
Ayah, rongga dada ini seperti mau meledak kala tak kudapati lagi senyummu dengan deretan gigimu yang nyaris tanggal.
Ayah, hari ini anak bungsumu sedang menangis. Aku tak punya kekuatan lagi untuk membendungnya.
Katanya, cobaan ini akan membuat anak bungsumu ini naik kelas? apakah Rabb kita juga mengatakan itu padamu saat ini?

ku hantarkan doa-doa ini untukmu, di setiap sujud 5 waktuku.
semoga jendela langit dapat terbuka dan menerima paketan rinduku.
meski tak mampu ku eja satu persatu.

Minggu, 02 November 2014

26 Oktober 2014

Sulit mengawali tulisan ini, sulit memilih kata terbaik untukku persembahkan kepada beliau, seseorang yang jiwa raganya selama 21 tahun ini menjagaku dengan penuh seluruh.

Hatiku bergemuruh, protes kepada sang Illahi menanyakan keputusan sepihak-Nya yang tiba-tiba saja mengambil salah satu orang penting dalam hidupku. padahal setiap waktu doaku tak pernah berubah, selalu sama meminta agar sang Kuasa memberi kesempatan kepada beliau untuk terus bisa menatap pagi-nya, setidaknya sampai anak bungsunya ini memakai Toga wisuda, meraih gelar Sarjanaannya.
Dini hari itu, saat mata manusia masih enggan untuk menyambut Rabb-nya, Tiba-tiba banyak sekali yang mengirimiku pesan, yang bisa ku tarik kesimpulan "yang sabar, yang kuat". dan Tiba-tiba tangis ibuku menjadi-jadi sesampainya aku dari tanah rantau. pekik ku dalam hati "Ini yang namanya kehilangan? sungguh aku tidak pernah berfikir itu nyata" masih dengan kekuatan hati yang mencoba setegar karang, meski salah satu malaikat dalam rumahku sudah berpulang. 
Ku rapalkan berulang-ulang Al-fatihah tepat di depan wajah kakunya, entah berapa banyak tak terhitung jumlahnya, dengan tetap menahan agar air yang lahir dari mata ini tak luruh. Toh sama saja, menetes maupun tidak hati ini tetap pilu, gersang dan tersudut. Kembali aku di hadapkan pada pilihan takdir yang harus ku telan, tak peduli seberapa sakit dan seberapa perih lukanya.
Selalu seperti ini, aku tak pernah bisa menangis hebat di hadapan banyak orang, bahkan meneteskan air mata saja kadang masih terasa enggan, hingga banyak sekali yang memberikanku status "perempuan tangguh", aku tak meminta status itu dari orang lain, bukankah sudah ku katakan sebelumnya, menangis maupun tidak rasanya tetap pilu. meski demikian, saat itu aku tetap menangis. Namun segera ku hapus air mata itu sebelum ia sempat jatuh dan menggenang menjadi sungai-sungai kecil di ujung pipiku, aku harus mampu terlihat biasa demi menegarkan hati orang-orang di sekitarku, Ibuku dan Kakak-kakakku.
Dan sungguh hari ini, banyak sekali yang aku sesalkan. Menyesal karena tidak pernah secara gamblang mencurahkan cinta padanya, menyesal karena selalu menjadi anak nomor satu yang menyusahkannya, menyesal dengan setiap tingkah polah yang selalu membuat beliau jengah. Hingga Tuhan tahu, kenapa isakan ini terpendam dalam hati, terkunci rapat tanpa ada satu orang-pun yang mengetahui. karena terlalu banyak penyesalan yang terlambat untuk di publikasikan.

Ayah, sudah selesai, sudah berakhir penderitaan atas rasa sakitmu di dunia.
Ini mungkin jawaban terbaik atas doa-doamu dan jawaban terbaik pula atas doaku yang terlalu egois mempertahankanmu.
Ayah, bukankah sekarang engkau sudah tenang di sana, meninggalkan kami dengan khusnul khotimah dan bermain bersama ribuan malaikat syurga.
Lihatlah dari atas sana, aku di sini akan segera meraih gelar sarjana, dan menjadi seseorang yang mampu engkau banggakan. Kelak, meski usia tak lagi muda, aku akan tetap menebar tawa dan manfaat bagi orang-orang sekitar. Akan tetap tersenyum meski onak duri menyeringai perjalanan ini.
Ayah, bukankah ini perjalanan terbaik yang akan dilalui setiap manusia dalam hidupnya, lantas kenapa mesti berburuk sangka pada Rabb kita.

Ayah, aku pernah membaca novel yang di sana tertulis: Sebab, Pencipta dan roh manusia seperti halnya matahari dan pancaran cahayanya. Kembali pada pencipta adalah kerinduan, bukan kehilangan. Seperti musafir yang pulang ke kampung halaman.
kalau begitu, berbahagialah Ayah. karena kami di sini juga berbahagia dan melepas keikhlasan kami untukmu.

Kamis, 23 Oktober 2014

P-e-r-e-m-p-u-a-n I-t-u

Perempuan itu, aku baru mengenalnya saat perayaan pernikahanmu. Cantik rupawan serta Anggun tutur katanya. pantas saja kau tak keberatan saat di minta untuk meminangnya.
Sekarang aku mengerti alasan Tuhan, mengapa Dia melepaskan pegangan kita yang dulunya begitu erat.
mengingat ini, seperti meneguk racun namun efek kematiannya begitu lama, perlahan menggumpalkan aliran darahku, mencekat pernafasanku dan pada akhirnya mematikan batang otakku.
hahah kau pasti sudah mendengar? entah dari siapa, mungkin saja teman-temanku. Tapi tenang, aku baik-baik saja.
Kau ingat tidak, dulu kau begitu marah saat ku singgung tentang perempuan itu, perempuan yang fisiknya tak ku kenali dan hanya mampu ku reka dalam lamunan. Dan yang lebih tak ku mengerti, Ia begitu lekat padamu, hingga mampu ku tangkap gelombang sinar matamu saat ku sebut namanya. Dalam sekali lubang yang kau gali untuk menyembunyikannya, tapi aku tetap bisa mengendus baunya.
Aku takut, jika Ia dengan cepat menyelinap dan merebut kembali hatimu. Atau jangan-jangan aku yang menjadi sekat antara kalian berdua.
Perempuan itu, yang bisa di bilang datang dari ruang yang kita sepakati bersama sebagai masa lalu, dan kau tak bisa mengusirnya, bahkan saat aku dan kau mulai menyatu. Jadi sebenarnya siapa yang datang terlebih dahulu? kenapa kau begitu sulit menjawab pertanyaan remehku? hingga akhir waktu benar-benar menguji kesetiaanmu.
Aku tak mengerti sungguh, kau membuatku bingung hingga sepucuk undangan sampai di rumahku, Aku anggap itu jawaban paling jelas atas pertanyaan ku dulu.
Perempuan itu, yang menyimpan cintanya dan khusus Ia persembahkan untukmu. Sebetulnya aku tak ingin menulis ini, karena aku-pun punya cinta yang sama untuk ku hidangkan padamu. 
Mungkin Tuhan punya perspektif berbeda, cinta mana yang lebih utuh? tidak..tidak, tidak bisa, karena cintaku jelas utuh. Mungkin cinta mana yang lebih dulu? Enak saja, bukankah sudah jelas, aku yang menggiringmu saat kau temui persimpangan, bukankah aku yang menggandengmu saat dunia mengacuhkanmu, dan bukankah aku pula yang merangkulmu saat tangismu pecah tanpa isakan.
Perempuan itu, kini berada dekat denganmu, dekat sekali, hanya sebatas kulit ari.
aku di sini, satu meter di depanmu, memandangimu hingga luruh air mataku, lumpuh syarafku, hingga tak ku rasakan lagi pijakanku pada tanah.
Tuhan kita tahu, mengapa harus perempuan itu. Aku sudah mengerti alasannya. meski dengan keihklasan yang tertunda.

Rabu, 22 Oktober 2014

Kapan Kau Pulang ?

Untukmu yang sedang mengembara di negeri antah berantah, sedang apa kau di sana? aku berharap kau tak pernah lupa jalan pulang.
Malam menunggu kita untuk kembali meringkuk dalam dinginnnya, dan hujan membutuhkan tafsiran baru atas perasaan yang sudah enam tahun silam kau lepaskan. Yang kau lihat sekarang hanya aku dengan sayatan luka lama dan terus mengobatinya dengan cuka. Bolehkah untuk kedua kalinya aku memahat namamu pada batang pohon beringin yang pernah kita tanam bersama?
Aku mulai tak percaya dengan kenyataan, aku mulai nyaman dengan alam bawah sadarku yang terus berkelana mencarimu. bahkan aku seperti hilang ingatan, saat ke-absurd-an ku mulai tak di mengerti oleh kebanyakan orang. Namun bagimu, aku tetap perempuan manis yang selalu pandai mengukir senyum di bibirmu, bukan?
Pertanyaan demi pertanyaan selalu aku sajikan demi sebuah jawaban, Kapan kau pulang? dengan kosakata dan intonasi yang sama, tak pernah aku lebihi atau sekedar aku kurangi. Bagaimana bisa kau menyimpan rindu itu sendiri? mungkin kau mulai belajar menjadi benda mati.
Simpel saja, hari ini ku kirimkan tiket kenangan kita untuk menjemputmu pulang. Semoga kau segera lepas landas dari dunia lama-mu yang kau sulap menjadi baru. Harus berapa lama lagi aku menahan rasa kantuk-ku hanya untuk sekedar menunggumu pulang. sudah seratus tujuh puluh tiga malam aku terjaga, takut-takut jika saja kau berubah pikiran dan pintu masih tertutup. Terbayang kan bagaimana besarnya kantung mataku, aku sendiri takut jika nanti orang mengataiku dengan mata panda. tapi buatmu, tak pernah ada yang di sesali.
Padahal sebenarnya aku tahu, bahwa kau tak akan kembali pulang. Tapi bukankah sudah ku bilang sebelumnya, buatmu tak pernah ada yang di sesali. sudah ku pertimbangkan masak-masak sampai nyaris gosong perasaan ini.
Untukmu rindu ini terus mengalir bersama sisa luka yang belum ku temukan obatnya.
selamat berjumpa lagi, meski dengan sapaan dan senyum yang berbeda.

Senin, 20 Oktober 2014

Seandainya aku bisa menulis takdirku sendiri

Seandainya aku bisa menulis takdirku sendiri,
nama yang akan ku tulis dalam buku muka hatiku adalah namamu

Aku selalu tahu luka akan terus mengendap, setiap kali ku ratapi tulisan itu yang masih terukir indah dalam buku diary-ku. Bagaimana jika kata 'seandainya' bisa di ganti dengan 'semoga'? apa kau setuju? setidaknya pengharapan baru yang lebih kuat muncul dalam kata itu. Yah pengharapan bersamamu, siapa lagi jika bukan kamu.
Bukankah aku dan kamu pernah menjadi 'kita'. Tidak bisakah mengulanginya bahkan jika hanya menjadi penyamar rasa yang semakin suram.
pasti kau berfikir aku sudah kehilangan kewarasanku. tidak..tidak, aku hanya sedikit berfikir bagaimana caranya untuk bisa membelokkan takdir, sama halnya ketika aku belajar mengendarai dan membelokkan sepeda pancal dulu, sesuai arah yang ku inginkan, mudah sekali kan?. 
Tapi hatiku ibarat white board dengan kesalahan penulisan namamu yang memakai spidol permanent, susah sekali untuk di bersihkan, bahkan ketika sudah terhapus-pun sisa coretannya masih tinggal dan membekas. Itulah kenapa hatiku masih terasa penuh.
kau tidak akan mengerti seberapa usahaku mencoba membelokkan takdir, berharap Ia benar-benar berbaik hati dan mendukungku. Tapi kau tahu, takdir ini sama halnya denganmu, terus mencandaiku tanpa jejak tawa yang mengembang.
Tak bisakah kau lihat jika ini lucu? perempuan yang kau pikir sempurna rasionalitasnya dapat menciderai otaknya sendiri hanya karena lima huruf yang berawalan C dan akhiran A.
Ah, sudah tak terpikirkan tentang itu, aku hanya ingin merajut bahagia bersamamu meski dalam ilusi. Sepertinya itu cukup membuat ku tenang.

Sabtu, 18 Oktober 2014

Sampul Biru

catatan itu, goresan pena itu .. yah aku ingat sekarang.. tapi entah, aku lupa tepatnya, tanggal berapa, jam berapa, menit dan detik ke berapa sungguh aku lupa, aku tidak bisa mengingat secara detail, otak ku sudah lumpuh untuk kembali mengingat itu.
Tapi hari itu, saat dimana catatan itu kau tulis, dan tulisan itu kau ukir dengan tinta mawar
aku masih mengingat isinya, ternyata otak ku belum benar-benar lumpuh dalam mengingat itu
dia masih bisa berfikir untuk hal-hal yang terasa pahit dan memilukan
bahkan tanpa kau suruh menghafal-pun aku masih ingat tiap abjad yang kau ukir dan tiap kata yang tersemat dalam buku bersampul biru.

nampaknya Tuhan tidak ingin membuang catatan itu dalam fikiranku secara sempurna, Dia ingin melakukan konsolidasi denganku, sebelum aku mengiyakan serta mengikhlaskan.
percuma saja, karena bagiku semua memang sudah tak penting lagi, dulu goresan itu ibarat lukisan dewa yang paling sakral sehingga tak ada yang boleh menjamahnya.
Haah terlalu berlebihan rasanya...

dan tinta mawar itu, sekarang kemana larinya??kemana dia membawamu pergi??
bukankah dia sudah tumpah menggenangi buku bersampul biru.
bahkan kau yang mengukir saja sudah tak paham apa maknanya, sudah tak hafal bagaimana mengucapkan mantranya.
bagaimana aku, yang baru mengerti sebagian kemudian harus tergores oleh tumpahan tinta mawar.
Oranglain bertanya-tanya, apa isinya, apa maksudnya, apa mantranya.
mereka bertanya kepadaku
Aku teramat polos menjawab "aku tak mengerti" "Coba tanya Dia"
Heee dan kau sudah berlari, ke tepi pantai dan kemudian senyap

Coretan yang utuh dalam sampul biru itu
pecah pixel-pixelnya hingga buram
Baguslah, setidaknya bisa segera di Enyahkan

Kamis, 16 Oktober 2014

Cinta yang Jatuh

Sebentar....
aku seperti susah bernafas, ini bukan ruang hampa udara kan??
baru saja aku menjemput khayalan, tapi namamu sudah di bersihkan oleh kain pel. kinclong, bersih dan tak bersisa.
di sini, tepat di ulu hati. Rasanya seperti infeksi lambungku kembali mengamuk, sakit sekali. Dan aku menangis. Hei ini sesak sekali, jantungku sepertinya mau bocor.

Kamu... tokoh pangeran dalam dongeng yang selalu ku baca sebelum tidur, aku khayalkan bersamaan dengan lengkungan senyum centil. Duniamu berbeda dengan duniaku, itulah mengapa sampai detik ini aku hanya mampu merapal namamu sejengkal di depan jidatku, tak ada keberanian meresapinya terlalu dalam.
barangkali ini sebuah cinta yang belum tersampaikan? utuh dan bulat seperti bulan purnama. Lalu apa yang harus aku lakukan pada bulan itu? melihatnya dalam-dalam sampai mataku lelah, meresapinya hingga basah pipi karena air mata. Sedang menggapainya rasanya tidak mungkin.

aku mulai menghitung kata demi kata yang pernah ku tulis khusus buatmu, ada sekitar seribu enam ratus tujuh puluh tiga kata. Dan sebanyak itu juga aku mengagumimu. namun sekarang menggumpal di penuhi sesak.
Kata orang, jatuh cinta itu indah? Ah bagiku ini cinta yang jatuh, sama kah? tidak..tidak, jelas tidak sama.
kau tahu, jatuh cinta kepadamu seperti mengaitkan diri pada ranting pohon yang tipis, aku lupa bahwa pijakanku terlalu tinggi dan genggamanku tidak sempurna. tenagaku seperti terkuras habis hingga keringat sebiji jagung jatuh satu persatu. Pada akhirnya aku terpelanting juga.
kau tak ingin bertanya, apa aku kesakitan? aku jawab saja 'beberapa bagian tubuhku tersayat, tapi tidak apa-apa. sebenarnya tidak sakit, sebelum hujan mengguyur seset kulitku'.

Aku perempuan kuat. Kuat?? lantas kenapa sekarang menangis?
tidak..tidak, aku menangis karena sudah terlampau jujur padamu. Jujur pada perasaan yang sungguh menggelepar ini. seperti inikah mencintai? sama sekali tak terpikir akan serumit ini.
Aku mengigau ya, ma'af jika terlalu lancang, aku hanya ingin jujur melalui tulisan ini. Bahwa aku telah...jatuh cinta, bukan.. tapi cinta ku yang jatuh. tak berkesudahan bagaimana perihnya.

Aku telah salah menjatuhkan cintaku padamu. dan aku gagal menghidangkannya dengan utuh. Tapi bukankah cinta tidak bisa memilih pada siapa ia akan hinggap.
Aku tak punya cara selain berlari. 
apa Kau ada ide, bagaimana mengeluarkanmu dari hatiku?

Rabu, 15 Oktober 2014

Memikirkan

Sering aku memintamu untuk bertukar perasaan denganku, bukan untuk apa-apa. hanya ingin memberitahumu tanpa harus berteriak, bagaimana rindu ini bisa bekerja begitu aktif hingga merusak sel-sel otakku.
memikirkanmu tanpa batas, membuat kepalaku seperti di hantam palu godam, pening dan nyeri. 
Lagi dalam beberapa kesempatan, kau selalu berhasil menyelinap masuk ke dasar pikiranku, saat kuliah, saat makan, minum, membaca buku, menunggu teman. hingga ku dapati sigapnya diriku mengetuk-ngetuk jari pada tuts-tuts laptop  menulis dongeng tentangmu. Harusnya kau bertanya dahulu, siapkah aku jika di jemput oleh kenangan lagi dan lagi.
jangan bertanya, bagaimana aku memulai hidupku kembali, setelah semua berhasil di renggut waktu. Aku memang sempat menangis, mengemis untuk bisa di kembalikan lagi. Tapi kau tahu, aku belajar untuk tidak menggenggam erat apa yang sudah ku punya. Karena Tuhan punya banyak skenario, dan yang aku genggam hari ini hanya skenario pengecoh yang suatu saat dapat di kibas oleh angin.

Sederhana saja, Sayang

Bagaimana kabarmu?
laki-laki yang belakangan ini telah mencuri sebagian perhatianku.
sudah lama aku tak menjumpaimu di dunia yang sudah mempertemukan kita.
bagaimana kabarmu?
laki-laki berhati dingin namun membuatku berkeringat sepanjang hari saat ku temui tatapan matamu
Bagaimana bisa aku mencintaimu, sedang menatapmu saja energi-ku terkuras habis.
Tuhan kadang lucu, memberikan pilihan sulit kepada manusia bahkan kadang pilihan itu tidak bisa di pilih.
begitu juga diriku, tak bisa memilih untuk menghindari mencintaimu. Katanya cinta itu fitrah? kata-kata ini sering kali aku dengar dari pemuka agama pada ceramah-ceramahnya, meski aku tidak tahu pasti apa itu maknanya.
mungkin tidak jauh-jauh dari Anugerah, karunia atau bisa saja Rezeki. Ah sudahlah. apapun itu, cinta tetaplah cinta dengan segudang pertanyaan besar pada dirinya.

Bukankah meski berbeda waktu, matahari juga mencintai bulan. Lihat saja pancaran sinarnya yang diberikan pada bulan, sehingga pada malam hari kita tak perlu takut kegelapan.
tapi tidak semudah itu sayang, pertemuan kita terlalu sederhana jika harus di padu-padankan dengan matahari dan bulan. Oh bukan, bukan kamu sayang, karena ternyata aku sendiri yang berfikir seperti itu. Lantas apakah perasaan ini hanya sepihak?
coba kau fikirkan lagi sayang, mungkin kau sedikit lupa karena terlalu banyak beban dalam hidupmu.
tapi katanya perasaan bukan pada pikiran, melainkan pada hati. Jadi siapa di sini yang salah.
Tidak sayang, katanya tidak ada yang patut di salahkan jika itu menyangkut perasaan. Itu yang sering aku dengar dari pujangga-pujangga kelas kakap yang karyanya sudah kenyang aku lahap.
nanti kau juga akan mengerti sayang, apa perlu aku beri satu cerita-cerita romantis yang pernah ku baca.
Namun, apakah dengan begitu perasaanmu bisa berubah?

Sederhana saja, aku selalu bermimpi menjadi perempuan biasa yang mampu kau cintai dengan cinta yang luar biasa.
hanya mimpi sayang, belum tentu akan terwujud, jadi kau tak perlu takut.
aku juga sudah siap, jika saja perasaan itu hanya semu.
aku tak akan kembali lumpuh seperti dulu-dulu.

Selasa, 14 Oktober 2014

Malam Minggu

Bagi kita malam minggu seperti malam-malam biasa, tidak ada yang spesial.
katamu, kita tak perlu ikut hanyut dalam atmosfer itu hanya untuk menunjukkan pada dunia bahwa cinta kita ada, bahkan kamu tak ingin menghabiskan waktu dengan percuma seperti halnya pasangan muda-mudi lainnya.
Cinta kita tak lagi muda, kita telah menghabiskan ribuan musim bersama, seperti halnya burung merpati yang tak pernah ingkar janji.
bahkan kamu lebih senang, jika kita menghabiskan malam minggu dengan bermunajat kepada-Nya, memohon keberkahan cinta kita. atau sekedar bercengkrama dengan ayah ibuku.
Teringat suatu hari, kamu mampu membuat ayahku yang begitu dingin tertawa hingga terlihat deretan giginya yang nyaris tanggal dan ibuku dengan senyum ramahnya menyambutmu dengan teh manis buatannya. sekalipun kamu tak pernah membelikanku seikat bunga.
kebersamaan kita selalu menyenangkan meski ruang waktu menjadi penguji kesetiaan kita, namun kita mampu bertahan hingga detak jarum jam seperti ingin menyerah.
Bagimu malam minggu sama seperti malam-malam berikutnya dalam seminggu.
karena cinta kita ada bukan hanya satu malam saja, namun juga di malam-malam selanjutnya, terus seperti itu. selamanya.

Dan ketika ku dengar sayup-sayup pembicaraanmu pada orang tua ku di malam minggu itu, tentang lamaranmu, tentang rencanamu menikahiku dalam waktu dekat, serta berbagai rencana lain yang telah kau susun begitu apik demi masa depan kita nanti, yang tanpa di suruh kau presentasikan di depan kedua orang tuaku. Sungguh kau tak perlu memberi aku mawar untuk sekedar membuat hati ku mewangi, dan kau juga tak perlu memberi aku sebatang coklat hanya untuk membuat hatiku meloncat riang. Keinginanmu untuk mempersuntingku yang kau utarakan lewat orang tuaku telah membuat hatiku bergetar dan luluh seluluh-luluhnya. aku menangis haru, dengan tetap memegang ujung gorden sebagai peganganku.
kau tahu, aku menjadi perempuan paling sempurna di malam itu, di cintai oleh sosok laki-laki sepertimu, yang keindahannya seakan takut untuk dinikmati oleh perempuan lain, kau tundukkan pandanganmu hanya untuk menjaga kesetiaanmu padaku. tak pernah terbayang olehku dapat bersanding bersama laki-laki yang belakangan ini mengintip malu dalam bunga tidurku, laki-laki yang sosoknya tak pernah aku impikan sebelumnya akan menjadi kekasih halalku serta menjadi ayah dari anak-anak ku.

Di saat para remaja sedang asyik bercumbu rayu dengan pasangannya masing-masing, di dalam keremangan malam dan kepekatan hubungan. Engkau justru datang ke rumahku, bertemu orang tuaku. dan dengan ksatria kau ungkapkan keinginanmu untuk segera menghalalkanku.
maka tak ada alasan lagi untuk menolak, jawabku 'iya' meski dengan tertunduk memegangi ujung kerudungku, aku takut kau melihat wajahku yang mungkin sudah berubah menjadi kemerahan 'mirip kepiting rebus'.

Dari situlah aku mulai menyukai malam minggu, meski setelah itu kau tak pernah datang lagi karena kesibukanmu yang harus menyelesaikan beberapa proyek di luar kota. meski kau tak pernah sekalipun mengajakku untuk bermalam minggu saat kau kembali dari pekerjaanmu, meski kau selalu menganggap tidak ada yang spesial di malam minggu. Meski katamu, kau tanpa sengaja melamarku di malam minggu. Tapi aku tetaplah perempuan, yang selalu pandai menyimpan kenangan meski hanya di sudut terkecil dalam pikirannya. dan kau melupakan satu hal tentang itu.
kita punya cara sendiri-sendiri untuk menikmati 'malam minggu'. Aku, Kamu dan Mereka

Senin, 13 Oktober 2014

Memulai

Aku selalu takut untuk memulai lagi, membagi kisah dengan orang lain, mematutkan harapan tinggi pada orang yang selalu aku pikir akan menjadi pendamping malam dan siangku. menjadi matahari meski mendung siap menanti dan menjadi bulan saat gemerlap cahaya nyaris redup.
apalagi ketika melihatmu seperti ini, entahlah seperti apa aku harus menggambarkan sosokmu.
tinggi, kurus, cerdas dan bermasa depan cerah. perempuan mana yang tidak luluh jika kau dekati.
Pernah suatu hari, ada yang bertanya pada mu tentang perasaan yang kau simpan untukku. Dan kau tak pernah bisa menjawab, selalu bungkam dengan alasan yang sama atau kadangkala hanya tersenyum simpul sambil berlalu. Bukan hanya hari kemarin saja, namun juga hari ini dan di hari seterusnya.
sepertinya perasaanmu perlu di timbang kadar beratnya, sehingga mengakuinya pada orang lain saja kau terasa berat. Mungkin kau takut jika orang lain tahu, bahwa kau menyimpan perasaan kepada perempuan biasa seperti aku. atau kau takut "pasaranmu turun" sebagai laki-laki keren di kalangan teman-teman perempuanmu.
itu lah yang membuat aku selalu takut memulai lagi sayang, memulai hubungan baru dengan orang lain, apalagi jika dia itu seperti kau. penuh dengan kesempurnaan.
Mungkin saatnya sekarang aku menyerah pada perasaanku dan kau juga harusnya menghentikan perasaanmu padaku.

Jumat, 10 Oktober 2014

Surat untuk Ibu

Aku dengar kabarmu sedang tak baik? apa itu benar ibu?
apa karena kota panas kita semakin panas, atau karena angin laut yang seringkali masuk jendela kayu rumah kita?
ibu, kau perempuan tangguh, bahkan besi saja kadang malu jika bersentuhan denganmu

aku dengar air matamu kembali merembes
mengapa kau menangis lagi? bukankah sudah ku katakan aku baik-baik saja
aku sudah sembuh ibu, makanan rumah sakit tak enak, rasanya "anyep", dan seperti di penjara pada tembok putih. kemerdekaanku terampas. Kau tenang saja, aku tak akan mengulanginya lagi.

lantas mengapa masih menangis? aku takut ibu.
bukankah selalu saja aku yang membuatmu menangis
gadis kecilmu ini sungguh nakal bukan.

aku teringat mukena yang kau hadiahkan untukku
indah sekali ibu, aku pakai khusus sholat idhul adha di hellypad kampusku
tapi aku tak sempat berfoto, padahal saat ku patut-patutkan diriku di cermin, aku begitu cantik berbalut mukena pemberianmu.
dan seperti tahu kebutuhanku, esoknya kau kirimkan aku sekantong besar daging kurban.
sempurna meski tanpa kau di sisiku

dan mukena yang kau beri, selalu menjadi penghantar doa-doa ku menuju Rabb-ku
seperti ada konduktor di dalamnya.
doaku bersenyawa untuk kesehatanmu dan ayah.
semoga sang khalik mendengarkan sayup-sayup rintihanku.

saat di telfon, dan aku bilang "kangen rumah, ingin pulang" sembari sedikit sesenggukan
sungguh tak bisa terhitung berapa jumlah partikel rinduku ini padamu.
lantas kau bilang "jangan nangis, anakku gak boleh nangis, nanti jelek matanya bengkak"
saat itu juga ku sambar tissue di meja belajarku.
aaah ibu, kata-katamu selalu berenergi
sepertinya cukup mendengar suaramu setiap hari, aku tak perlu suplemen untuk menopang tenagaku.

ibu, aku rindu bahumu.
sediakan tempat untukku kala ku pulang nanti

Kamis, 09 Oktober 2014

Surat Untuk Ayah

Senyummu mungkin sudah lusuh, berbalut keriput yang mulai kentara menghiasi wajahmu
ketampananmu juga mulai pudar, berhias sendu pada kedua bola matamu.
Ayah, semangat dan ketangguhanmu ternyata menular padaku
engkau tahu, anakmu ini selalu berhasil menghentikan gerimis dalam hidupnya.
pernah ada yang bertanya padaku "siapa cinta pertamamu?" aku jawab "ayahku". sungguh ayah, aku tak berbohong apalagi sampai menggombal. tak sampai hati ayah.
aku tidak tahu ayah, kemana lagi bisa ku temukan orang seperti dirimu, sepertinya hanya satu di dunia ini, sungguh engkau tidak mempunyai kembaran bukan?
kasar serta lebamnya tanganmu, menjadi pertanda betapa keras hidupmu
namun itu yang mengajarkanku banyak hal, tentang kehidupan dan perjuangan hingga di tahun ke-4 perkuliahanku, aku masih bisa tertawa di tengan kejenuhan diktat-diktat perkuliahan.
Di mata sebagian orang, katanya aku penuh ambisi.
tapi bagimu, aku tetap gadis manis yang masih suka merengek saat tak ada makanan di kulkas kan ayah?

di kota dingin ini, engkau tak perlu khawatir, aku selalu membawa jaket kemanapun,
aku juga tak pernah telat makan lagi
tapi aku sering begadang ayah, karena tugas-tugas kuliah yang menumpuk dan kadang-kadang tak bisa diprediksi, tapi tenang aku sudah cukup mengenal angin dan malamnya.

lantas, bagaimana kabarmu di kota panas kita?
aahh kota itu, meskipun panas tapi aku selalu merindukan angin lautnya.
aku dengar, sakitmu semakin bertambah, apakah benar ayah?
kata ibu, benjolan di lehermu semakin banyak bahkan sampai ke ketiak.
mengapa bisa seperti itu, sepertinya baru kemarin aku melihatmu tanpa beban, tanpa rasa sakit.
atau mungkin aku terlalu sibuk dengan duniaku dan tak sempat memperhatikan?
atau kau yang pandai menyembunyikan rasa sakitmu?
kadang tak percaya, laki-laki seperkasa dirimu bisa terkapar sakit
apalagi saat melihat potret masa mudamu, aaiiihhh macho sekali ayah.

21 tahun ini, aku sama sekali tak pernah mengatakan "aku mencintaimu"
tapi sungguh ayah, tanpa aku mengatakannya "aku sudah jatuh cinta padamu,semenjak aku tahu kau adalah ayahku".
aku selalu mencintaimu lewat doa, memohonkan kesehatan dan kelapangan rezeki untukmu.
bukankah kau ingin melihatku memakai toga?di wisuda?
di silangkan tali topi toga dari kiri ke kanan oleh pak rektor. iya kan ayah?
maka, tunggulah ayah
akan segera aku realisasikan permintaanmu itu.
sekarang aku sedang berjibaku, berperang dengan beberapa mata kuliah yang sudah, telah atau bakan belum aku tempuh.
tenang ayah, aku sudah mempersiapkan senjata.
tunggu saja aku di pintu sana, di ujung sana itu, aku akan membawa tanda kelulusan padamu.
jangan risau ayah, sejenak saja dan jangan bergeming dulu dari pintu itu, aku akan segera kembali.

Jika Tuhan mengajakmu, katakan pada-Nya bahwa kau sedang menungguku.
aku akan segera kembali ayah, aku berjanji padamu.

Minggu, 05 Oktober 2014

^_^

Mungkin jalan kita memang berbeda, jalan kita tak pernah bisa sama.
seperti itulah aku mengenalmu dulu, dan kamu juga pasti tahu bagaimana aku di matamu.
sesungguhnya setiap hari, kala aku bertemu dengan orang-orang baru di sekitarku bahkan mereka yang telah nyaris berhasil masuk dalam hidupku, aku merasa bahagia, merasa tentram dan merasa "berhasil" keluar dari sangkar bayang-bayangmu.
namun kamu tahu, tiba-tiba hatiku dipenuhi ragu, akhirnya aku kembali menepi, tak memperdulikan sekelilingku, aku memilih menjauh dari pusaran ombak, agar buihnya tak memercik masuk ke dalam bola mataku. mungkin aku yang terlalu takut merasa perih kembali, atau "kutukan" cinta memang hanya terpaut padamu?? namun aku tak yakin itu.
hari-hariku selalu tenang, sekalipun kamu sudah tak berada di sini, iya di sini "baik di hati maupun dipikiranku". aku tak pernah merasa sendiri, aku juga tak pernah merasa sepi karena aku tahu di mana aku bisa berlari dikala aku merasa sepi, dan mereka tak akan membiarkan aku menyendiri.
lantas bagaimana denganmu??aku rasa kamu tak punya pilihan lain, karena hidupmu selalu satu dan tanpa pilihan.
dan tahun-tahun berlalu, kabarmu tak pernah terendus angin. ku pikir kamu telah mati, atau telah menjelma menjadi bentuk yang lain. tapi tak mengapa, aku tak pernah lagi berfikir tentang kamu, bahkan aku telah meninggalkan segala bekas luka yang pernah kamu torehkan, dan aku bahagia, setidaknya luka itu bisa hilang meski aku tak terlalu memaksa untuk benar-benar menghilangkannya.
sepertinya hidup yang baru telah kamu jalani sekarang, mungkin kamu merasa bahagia sehingga angin saja tak rela mengusikmu atau bisa juga kamu sangat menderita sekarang, hingga angin pun merasa kasihan untuk menertawakanmu.
dan aku di sini, di tempat yang sama, di sudut yang sama namun dengan dimensi waktu yang berbeda, telah berhasil menyantap, melahap dan menelan segala kenangan kita (dulu). tanpa sisa dengan ludah yang tak pernah kering, mengunyah hingga hancurnya.
aku selalu berdoa pada Tuhan, untuk tidak mempertemukan kita lagi.
karena perjumpaan kita hanya akan membawa memori-memori usang yang tak layak di tayangkan kembali.
sudah cukup, karena detik ini aku sudah diam dalam kebahagiaanku sendiri.

Selasa, 30 September 2014

aku....

Mungkin memang seharusnya seperti ini adanya...
Sendiri dan sepi...
Menghilang di antara keramaian...
Namun tak seharusnya terjebak dalam puing-puing kegelisahan...
Karena hanya akan kembali menimbulkan perdebatan...
Yach perdebatan antara hati dan pikiran...
Pikiran yang hanya mengutamakan logika...
Tanpa menelisik sedikit ke dasar hati yang kesedihan....
Sedang hati yang telah mati pun hanya memikirkan bagaimana menciptakan sunyi...
Tak ada gairah untuk menengok pikiran yang kalut...
Bagaimana ini terus berlanjut???
Jika hati dan pikiran tak pernah bisa bersatu???
Perang batin selalu berkecamuk..
Bahkan kian hari kian sadis...
Hingga mematikan pori-pori cinta yang ada di dalamnya...
Pori-pori itu telah mati..
Tak akan ada celah lagi untuk masuk...
Semua telah tertutup....
Mengapa logika ini begitu tajam???
Hingga menyayat seonggok daging itu...
Oh tuhan....seonggok daging itu tak mengerti apa-apa...
Jangan biarkan dia kalah oleh logika...
Bantu dia...selamatkan dia....
Dia pusat dari segala-galanya...
Jika dia tak ada bagaimana aku hidup????
Bagaimana aku merasakan keikhlasan...
Aku takut terbelenggu pada keegoisan...
Yang kemudian berujung pada kesombongan...
Hati.......tolong kembali hidup!!!!
Aku mohon!!!
Aku butuh kau...

Last Moment

Sesekali rindu ini mengucur deras menjadi air mata.
perlahan...., namun kemudian berhasil membuat sungai-sungai kecil di ujung pipi kanan dan kiriku.


kisah syahdu yang pernah aku tulis bersamamu dengan beragam dongeng di bawah pohon bambu
kita bercerita riang layaknya anak kecil yang tak takut kehabisan permen
tentang hari ini, di mana kau menyuarakan ambisimu merubah dunia, kau membawa serta pendukungmu, ingin menjadi petualang sejati bersamaku.
kala esok masih bisa bertemu, dengan segala kesan misteri yang diberikan oleh hidup, kau berjanji dengan segenap perasaanmu bahwa tangan ini akan selalu menggenggam erat dan berjuang menembus asa.
kemudian di masa depan, saat jingga yang kemudian tertunduk malu, dan matahari takut-takut mengintip lewat jendela mendung, kau-pun tetap tersenyum cerah seraya berlalu sambil mengajakku berlari, seakan tak pernah takut seketika hujan akan menghentikan langkah kita.
dan pada hari di mana kita berlari bersama, membelah hutan, mencari tempat bernaung kala suara amukan singa mulai terdengar.
dan kau tetap tersenyum, meski kapanpun aroma kematian dapat kapan saja mencabik-cabik kita.
bahkan saat rumput liar menghalangi langkahmu, dan membuat jeda di antara kita, kau menyibaknya tanpa peduli akan begitu banyak yang terinjak.
sesampai di padang ilalang, ketika tawa tetap renyah menembus jantung dunia, kau dan aku kembali bernyanyi, menyanyikan segala macam bait sendu, hingga lenyap sudah ketakutan itu.
namun, setiap kali aku mengingat itu, kau tertegun tak menjawab.
Pikirku "mungkin saja kau lupa" dan aku kembali dengan senyum riangku.

sesampainya di pantai, ombak itu mengejarmu, dan kau tetap tersenyum seakan tak terjadi apa-apa.
lagi, dengan langkah gontai menghampiriku, isyaratmu mengajak-ku melawan ombak.
aku tertawa meng-iya-kan.
kemudian dengan cepat, ombak itu menyeret kedua kaki kita dan selanjutnya tubuh kita terhempas meninggalkan pantai, berdebum jatuh di antara karang-karang tepian pantai.
kau tersenyum girang, seakan tak takut karang itu akan melukaiku atau bahkan akan menusukmu dengan tajamnya.
aku-pun ikut tertawa, bahkan begitu lepas hingga mengalahkan kicauan burung yang sedang transit di bibir pantai.
namun, tiba-tiba senyummu menjadi amat getir.
saat aku tahu ternyata ada luka di tangan dan kakimu.
dan darah segar mengucur deras hingga melumpuhkan persendianmu.
aku mencoba menghentikan darahmu dengan kain perca milikmu, dan kau tetap tersenyum, bahkan kali ini lebih hidup.
dan kau tak pernah tahu, itu seperti meremukkanku dalam waktu yang sama.

saat ini, tanganmu sudah sembuh namun cacat sehingga kita tak bisa lagi saling menggenggam
dan kakimu, mungkin butuh sedikit di tuntun untuk tetap bisa melangkah.
ketika itu, kita sudah saling meninggalkan satu sama lain :)

Minggu, 28 September 2014

Janji_janji

Rasa rindu itu layaknya hujan, tetap luruh meski kau telah di buat basah olehnya, ia tetap tak peduli.
bahkan menggigilmu saja seperti tiada arti, Ia tetap menerjang hingga tumpah ruah menggenangi bumi.
dan saat jeda itu datang, hanya kata tanpa makna yang mungkin bisa kau sampaikan.
kemudian pusaran rindu itu semakin menggila hingga semacam spiral tanpa ujung.
apa kau tahu bagaimana rasanya masuk dalam kumparan rindu?

gerimis kenangan menjadi saksi atas janji yang tertulis dalam kanvas
menceritakan segenap perasaan yang pernah Tuhan titipkan.
dan dunia seakan tunduk menghamba.
menyaksikan dua anak manusia, berikrar dalam "bayang Altar" atas nama cinta.
Tidak kah kau merasa itu hanya mimpi cinderella.

lantas, kemana sekarang janji itu?
akankah kau mencari hingga dunia berhenti berputar?
atau kau membiarkan saja pergi tanpa ucapan "selamat tinggal"?
mungkin janji itu telah lenyap seiring deraian ombak masa silam yang kian terhapuskan.

lantas, siapa pula pemilik janji itu?
dan kemana pemilik janji itu pergi?
bisakah kau mengumpulkan kembali serpihan janji itu dan mengembalikan pada pemiliknya.

tak perlu menangis untuk itu, kau tak pernah kalah
bahkan, jika 50 pedang sekaligus menghunusmu, kau tetap ksatria.
ingat, mungkin kau bisa berbahagia sepanjang tahun,
namun seandainya satu hari saja kau terluka, seringkali luka itulah yang lekat dalam ingatan.
dan kau tak perlu sibuk mengobatinya.