Selasa, 25 November 2014

Sebulan Kepulangan-mu

Aku merasakan sesak yang tanpa di undang menjalar ke rongga dada, seperti ada oksigen yang menyusut sebagian.
Aku seperti kehilangan sesuatu, dan baru saja ku menyadari. Hari ini,  hari di mana satu bulan tepat engkau meninggalkan kami, berpulang pada pangkuan Tuhan.
Bagaimana sanggup ku jelaskan tentang perasaan ini, saat mulutku penuh ritual do'a khusus ku paketkan untukmu. Bagaimana bisa ku tahan pedih, saat semua orang asyik bercerita tentang Ayah-nya.

Aku melatih kekebalan hatiku, mengumpulkan ribuan imun agar hatiku tak mudah koyak. Dan puluhan orang memberi selamat atas kuat-nya aku.
padahal aku sendiri tak tahu, apakah aku sekuat yang mereka pikir. Seringkali aku tak mengerti dengan cuaca hatiku saat ini.

Ayah, bisakah aku mengulang hari di mana rasa sakitmu tak pernah ada. Apa Tuhan tak  mengizinkan aku menengok masa lalu. Kali ini aku tak ingin berdamai dengan kenangan, aku ingin menelannya hingga lupa bahwa kau telah tiada.
Ayah, seribu nasehatmu bisakah kau reka ulang dalam bunga tidurku. Karena aku tak ingin terbangun sendiri, tanpa mimpi.
Ayah, jika Tuhan tahu anakmu ini sedang di peluk rindu, apa yang bisa Ia sampaikan padamu. Akankah Ia kirimkan hujan sebagai salam rindu darimu.
Ayah, kehilangan ini seperti bunyi gelegar langit saat di kepung mendung. Membuatku tak sanggup mendengar apapun, menutup telinga rapat-rapat karena takut.
Ayah, Katamu aku tak perlu takut jika kehilangan sesuatu, Tuhan terlalu baik dan pasti akan menggantikan dengan yang lebih baik. Apa itu berlaku untuk saat ini?
Sudah Ayah, Aku hanya bercanda, jangan kau tanyakan itu pada Tuhan. Dia pasti punya jawaban yang sangat bijak hingga kadang tak dimengerti oleh kami, para makhluknya.

Kemudian pada tetes hujan yang berangsur turun, aku menangkapnya di tiap rintikan.
dan berharap itu rindu yang kau sulap menjadi titik hujan.
ku simpan bersamaan dengan edelweis, agar abadi kerinduan ini.
meski kadang sesak menerobos pilu, kokohnya dinding perasaanku.

Minggu, 16 November 2014

Cerita Mendung

Kau perlu tahu, mengapa aku begitu menyukai suasana mendung. karena di setiap titik mendung, aku selalu melihat lukisan dirimu meski tanpa kanvas dan cat yang mahal. Layaknya sebuah diorama, siluet wajahmu tampak nyata nyaris tak ada cacat.
aku selalu mengagumi suasana mendung, bukan hanya karena ku lihat dirimu diantaranya namun aku seperti merasakan sekelebatan hadirmu bersamaan dengan semilirnya angin. Kemudian seperti membisikkan kalimat sakti di telingaku 'Berbahagialah chan, berbahagialah meski tanpa aku'. Aku menoleh mencari sumber suara itu, tapi yang ku temukan hanyalah rintikan hujan yang mulai meluruhkan mendung.
Kita pernah berjanji sebelumnya, tak akan pernah ada kata berakhir dalam perjalanan ini, sekalipun hujan mengguyur dan menghapus semua jejak kita, Namun kita akan tetap saling menemukan.
Apa kau ingat. Bagaimana kau memaksaku menautkan kelingkingku pada kelingkingmu, yang saat itu kita yakini dengan kata sepakat.

Dan sore ini, kala matahari mengintip malu lewat jendela mendung. Saat hujan tanpa ragu menerobos pintu langit. Lagi aku kembali menemukanmu saling berpeluk dengan pekatnya awan dan tanpa permisi kau kembali mendobrak pikiranku untuk kembali mengingatmu. Entahlah, sebenarnya apa yang aku ingat tentangmu. Semua hitam putih, persis seperti memutar film jaman dulu yang sudah tak layak di saksikan.
Belum juga puas, kau kembali membisikkan kalimat basi yang dulu pernah kau katakan dan kau ulang berkali-kali 'Berbahagialah chan, berbahagialah meski tanpa aku'. Dan kali ini aku tak mau kalah, ku balas kalimatmu 'Aku bahagia. Tanpa kau-aku lebih bahagia. Tak perlu lagi kau menjadi parasit dalam pohon kehidupanku. Menempel di dunia lain-ku tanpa seizin pemiliknya, bukankah itu benalu?'.
Gerimis menghampiriku, mungkin Ia tahu bahwa makhluk kecil ini butuh penyamaran untuk tetes air matanya. Agar tak terlihat bagaimana luka ini tersimpan begitu lama, hingga bernanah. Untuk kali ini, mataku sudah terlalu tebal untuk menangis, aku sudah kehabisan stock air mata.

Setiap kali aku menamatkan cerita yang sama, padahal amat menjemukan di akhir kisah. Rasanya seperti tenggelam ke dasar laut yang tak ada dasarnya. Seperti apa jadinya? sudah ku temukan jawabannya.
Aku seperti susah beranjak dan terlalu asyik menikmati bayanganmu, meski aku sadar tak akan pernah tergenggam bahkan segera pergi bersamaan dengan reda-nya hujan sore ini.
Ku katupkan hatiku, ku beri spasi dalam hatiku. biar ku temukan kanvas kosong yang bisa ku coret-coret dengan senyuman. biar ku buat diorama baru yang tentu saja bukan kau.
Sudahkah kau mengerti? Jika Iya, segeralah lenyap dari pandanganku.
Jangan lagi berkunjung pada kenangan, karena sungguh itu telah lampau dan aku tak ingin memulasnya dengan cat yang baru.

Rabu, 12 November 2014

Hari Ini Yang Katanya hari Ayah

Apa yang sedang kau lakukan sekarang ayah? 
sedang berbincang-bincang dengan Rabb kita kah? atau sedang bermain dengan malaikat-malaikat syurga?

Hari ini di kampus teman-teman sibuk sekali dengan Handphone-nya, menelfon kesana kemari dengan Ayahnya. Ada yang tersenyum, tertawa tapi ada juga yang menangis saat mendengar suara ayahnya melalui telfon genggamnya. Dan aku hanya sebagai pengamat tanpa berkomentar.
kau tahu Ayah, sebenarnya aku juga ingin melakukan hal yang sama, yang selalu aku lakukan setiap hari sabtu atau minggu. tapi aku lupa satu hal, bahwa benda canggih itu tak mampu menembus dunia barumu.
Lalu, aku berfikir bagaimana caranya mengirim kata-kata cinta untukmu, karena ku pikir hari ini adalah hari yang tepat. Hari dimana mereka sibuk mengingat ayah mereka masing-masing, hari dimana secara ajaib membuat mereka sadar bahwa seorang Ayah adalah pahlawan dalam hidup mereka, hari dimana jutaan kata cinta menguap begitu saja melalui mulut-mulut mereka. Hari yang mereka sebut sebagai hari Ayah.

Lagi-lagi aku tak bisa menangis Ayah, bukan karena aku kuat, tapi aku hanya tidak mau mereka melihat air mataku, aku tidak ingin membagi mendung kepada mereka dan aku juga tak ingin merusak suasana mesra mereka dengan para Ayahnya.
Sampai ada salah satu temanku yang bertanya Ayah, "Ra, bagaimana kamu bisa melewati ini?kehilangan seseorang yang kamu cintai". "seandainya aku di posisimu, sepertinya aku tidak mampu sekuat dirimu, meskipun itu palsu".
Aku jawab saja, "Ini jalan terbaik untuk Ayah-ku, Aku harus bisa tersenyum karena aku yakin di sana Ayah-ku sedang berbahagia", "Bukankah kembali kepada Rabb-Nya adalah suatu KeNiscayaan hidup setiap manusia".
Bagaimana Ayah??apa jawabanku begitu Puitis?atau bahkan terlalu Rasionalis?
Semoga kau bangga dengan jawabanku Ayah, Aku membayangkan kau tersenyum sambil berkata "Anakku memang pandai sekali berkata-kata".

Di hari ini, di tanggal 12 November yang katanya adalah hari Ayah.
Beserta hujan, aku kirimkan doa-doa sebagai pelipur lara, doa-doa untuk kebahagiaanmu di syurga.
Tak perlu SMS, E-mail ataupun Surat. Cukup deruan angin sore sebagai penghantarnya.
Ayah, Rindu ini terus menggelepar bertautan dengan dentuman jantung yang terus berdetak.
Tersenyumlah Ayah, Rabb kita selalu punya cara terbaik untuk mempertemukan kita lagi.

Sabtu, 08 November 2014

Sekarang-Selamanya

Seperti yang pernah kau katakan padaku, hidup ini singkat dan kita harus pandai mewarnainya dengan warna-warna cerah. Kau tahu, aku selalu cukup dengan satu warna, bukankah kau sudah hafal warna mana yang selalu aku gunakan?
kadang kita terlalu bermanja dengan waktu, kita berharap kebersamaan ini tak pernah lapuk oleh masa. hingga aku terlalu sibuk menggenggam tanganmu, menautkan jemariku pada jemarimu. dan saat itu aku benar-benar lupa bahwa kita akan kembali menyendiri, entah aku atau kamu-dulu.

Saat ini, entah siapa yang mewarnai hidupmu, entah dengan warna apa Ia mewarnainya, semoga adalah warna kesukaanmu. dan harusnya kau senang, karena takdir menyeretmu kepada seseorang dan bukan aku.
aku selalu berdoa, semoga yang di pertemukan pertama adalah kau dan bukan aku. Tuhan tahu kau adalah tipe makhluk homo sapiens yang akan mati jika terlalu lama sendiri.
Ah setidaknya berubahlah agar tak terkesan cengeng.

Jangan di tanya bagaimana kabarku, setidaknya kau sudah hafal bagaimana aku. Yang katanya Perempuan tanpa air mata, darimana kau dapati kata canggih itu? kenapa dulu aku tak berfikir untuk bertanya alasannya. 
Mungkin itu yang membuatmu tak pernah khawatir kala meninggalkanku, setidaknya bagimu aku terlalu pandai untuk jaga diri. Tapi kau benar, aku-lah perempuan yang kau maksud itu, perempuan yang katamu-terlalu tangguh-bahkan untuk ukuran kehilangan.

Sudah selesai, aku tak perlu warna lain di hidupku. Aku sudah pernah merasa puas dengan satu warna.
kau benar, hidup ini singkat. Karena itu, ku berikan kesempatan bagi Dia-dia yang lain untuk dapat menangkap radarku.
Baiklah.. detik ini, kita cukup berdoa pada Tuhan, agar di lain kesempatan kita dapat bertemu lagi dan meluruhkan jarak yang pernah tercipta. hanya sekedar menyapa  hay dan apa kabar.
Jangan lupa, dengan radar-yang telah kita bawa masing-masing.

Rabu, 05 November 2014

R-I-N-D-U

Aku sedang tidak ingin menangis, Tuhan juga tahu kepedihan ini tak pernah bisa secara tegas meluncur bersama dengan bulir-bulir air mataku. Isakan ini tersimpan rapi dalam ruas hati terdalam. Tak banyak orang mengerti, yang mereka perhatikan hanya aku dengan senyuman yang selalu merekah di sudut bibir atau gelak tawa yang membuat geger suasana.
Aku selalu pandai menyimpannya sendiri, berpura-pura menjadi perempuan tegar yang tidak pernah mempan di hantam badai, sembunyi pada senyum yang sebenarnya getir.
padahal di setiap malam, aku selalu meringkuk pada bantal yang menjadi peredam pecah tangisku, yang menjadi muara terakhir jatuhnya airmataku, hingga menganak membentuk bercak-bercak di saat mulai mengering. Dan saat pagi, aku kembali beracting dengan paras 'baik-baik saja', seperti tak terjadi apa-apa meski gembung di sudut mataku.

Ayah, rindu ini sekarat dan  nyaris tak ku temukan obatnya. apalagi saat mengingat aku tak mampu memenuhi janjiku untuk segera wisuda.
aku selalu terguncang sendiri karena menahan sesak tanpa mau di perhatikan.
Ayah, rongga dada ini seperti mau meledak kala tak kudapati lagi senyummu dengan deretan gigimu yang nyaris tanggal.
Ayah, hari ini anak bungsumu sedang menangis. Aku tak punya kekuatan lagi untuk membendungnya.
Katanya, cobaan ini akan membuat anak bungsumu ini naik kelas? apakah Rabb kita juga mengatakan itu padamu saat ini?

ku hantarkan doa-doa ini untukmu, di setiap sujud 5 waktuku.
semoga jendela langit dapat terbuka dan menerima paketan rinduku.
meski tak mampu ku eja satu persatu.

Minggu, 02 November 2014

26 Oktober 2014

Sulit mengawali tulisan ini, sulit memilih kata terbaik untukku persembahkan kepada beliau, seseorang yang jiwa raganya selama 21 tahun ini menjagaku dengan penuh seluruh.

Hatiku bergemuruh, protes kepada sang Illahi menanyakan keputusan sepihak-Nya yang tiba-tiba saja mengambil salah satu orang penting dalam hidupku. padahal setiap waktu doaku tak pernah berubah, selalu sama meminta agar sang Kuasa memberi kesempatan kepada beliau untuk terus bisa menatap pagi-nya, setidaknya sampai anak bungsunya ini memakai Toga wisuda, meraih gelar Sarjanaannya.
Dini hari itu, saat mata manusia masih enggan untuk menyambut Rabb-nya, Tiba-tiba banyak sekali yang mengirimiku pesan, yang bisa ku tarik kesimpulan "yang sabar, yang kuat". dan Tiba-tiba tangis ibuku menjadi-jadi sesampainya aku dari tanah rantau. pekik ku dalam hati "Ini yang namanya kehilangan? sungguh aku tidak pernah berfikir itu nyata" masih dengan kekuatan hati yang mencoba setegar karang, meski salah satu malaikat dalam rumahku sudah berpulang. 
Ku rapalkan berulang-ulang Al-fatihah tepat di depan wajah kakunya, entah berapa banyak tak terhitung jumlahnya, dengan tetap menahan agar air yang lahir dari mata ini tak luruh. Toh sama saja, menetes maupun tidak hati ini tetap pilu, gersang dan tersudut. Kembali aku di hadapkan pada pilihan takdir yang harus ku telan, tak peduli seberapa sakit dan seberapa perih lukanya.
Selalu seperti ini, aku tak pernah bisa menangis hebat di hadapan banyak orang, bahkan meneteskan air mata saja kadang masih terasa enggan, hingga banyak sekali yang memberikanku status "perempuan tangguh", aku tak meminta status itu dari orang lain, bukankah sudah ku katakan sebelumnya, menangis maupun tidak rasanya tetap pilu. meski demikian, saat itu aku tetap menangis. Namun segera ku hapus air mata itu sebelum ia sempat jatuh dan menggenang menjadi sungai-sungai kecil di ujung pipiku, aku harus mampu terlihat biasa demi menegarkan hati orang-orang di sekitarku, Ibuku dan Kakak-kakakku.
Dan sungguh hari ini, banyak sekali yang aku sesalkan. Menyesal karena tidak pernah secara gamblang mencurahkan cinta padanya, menyesal karena selalu menjadi anak nomor satu yang menyusahkannya, menyesal dengan setiap tingkah polah yang selalu membuat beliau jengah. Hingga Tuhan tahu, kenapa isakan ini terpendam dalam hati, terkunci rapat tanpa ada satu orang-pun yang mengetahui. karena terlalu banyak penyesalan yang terlambat untuk di publikasikan.

Ayah, sudah selesai, sudah berakhir penderitaan atas rasa sakitmu di dunia.
Ini mungkin jawaban terbaik atas doa-doamu dan jawaban terbaik pula atas doaku yang terlalu egois mempertahankanmu.
Ayah, bukankah sekarang engkau sudah tenang di sana, meninggalkan kami dengan khusnul khotimah dan bermain bersama ribuan malaikat syurga.
Lihatlah dari atas sana, aku di sini akan segera meraih gelar sarjana, dan menjadi seseorang yang mampu engkau banggakan. Kelak, meski usia tak lagi muda, aku akan tetap menebar tawa dan manfaat bagi orang-orang sekitar. Akan tetap tersenyum meski onak duri menyeringai perjalanan ini.
Ayah, bukankah ini perjalanan terbaik yang akan dilalui setiap manusia dalam hidupnya, lantas kenapa mesti berburuk sangka pada Rabb kita.

Ayah, aku pernah membaca novel yang di sana tertulis: Sebab, Pencipta dan roh manusia seperti halnya matahari dan pancaran cahayanya. Kembali pada pencipta adalah kerinduan, bukan kehilangan. Seperti musafir yang pulang ke kampung halaman.
kalau begitu, berbahagialah Ayah. karena kami di sini juga berbahagia dan melepas keikhlasan kami untukmu.