Kamis, 23 Oktober 2014

P-e-r-e-m-p-u-a-n I-t-u

Perempuan itu, aku baru mengenalnya saat perayaan pernikahanmu. Cantik rupawan serta Anggun tutur katanya. pantas saja kau tak keberatan saat di minta untuk meminangnya.
Sekarang aku mengerti alasan Tuhan, mengapa Dia melepaskan pegangan kita yang dulunya begitu erat.
mengingat ini, seperti meneguk racun namun efek kematiannya begitu lama, perlahan menggumpalkan aliran darahku, mencekat pernafasanku dan pada akhirnya mematikan batang otakku.
hahah kau pasti sudah mendengar? entah dari siapa, mungkin saja teman-temanku. Tapi tenang, aku baik-baik saja.
Kau ingat tidak, dulu kau begitu marah saat ku singgung tentang perempuan itu, perempuan yang fisiknya tak ku kenali dan hanya mampu ku reka dalam lamunan. Dan yang lebih tak ku mengerti, Ia begitu lekat padamu, hingga mampu ku tangkap gelombang sinar matamu saat ku sebut namanya. Dalam sekali lubang yang kau gali untuk menyembunyikannya, tapi aku tetap bisa mengendus baunya.
Aku takut, jika Ia dengan cepat menyelinap dan merebut kembali hatimu. Atau jangan-jangan aku yang menjadi sekat antara kalian berdua.
Perempuan itu, yang bisa di bilang datang dari ruang yang kita sepakati bersama sebagai masa lalu, dan kau tak bisa mengusirnya, bahkan saat aku dan kau mulai menyatu. Jadi sebenarnya siapa yang datang terlebih dahulu? kenapa kau begitu sulit menjawab pertanyaan remehku? hingga akhir waktu benar-benar menguji kesetiaanmu.
Aku tak mengerti sungguh, kau membuatku bingung hingga sepucuk undangan sampai di rumahku, Aku anggap itu jawaban paling jelas atas pertanyaan ku dulu.
Perempuan itu, yang menyimpan cintanya dan khusus Ia persembahkan untukmu. Sebetulnya aku tak ingin menulis ini, karena aku-pun punya cinta yang sama untuk ku hidangkan padamu. 
Mungkin Tuhan punya perspektif berbeda, cinta mana yang lebih utuh? tidak..tidak, tidak bisa, karena cintaku jelas utuh. Mungkin cinta mana yang lebih dulu? Enak saja, bukankah sudah jelas, aku yang menggiringmu saat kau temui persimpangan, bukankah aku yang menggandengmu saat dunia mengacuhkanmu, dan bukankah aku pula yang merangkulmu saat tangismu pecah tanpa isakan.
Perempuan itu, kini berada dekat denganmu, dekat sekali, hanya sebatas kulit ari.
aku di sini, satu meter di depanmu, memandangimu hingga luruh air mataku, lumpuh syarafku, hingga tak ku rasakan lagi pijakanku pada tanah.
Tuhan kita tahu, mengapa harus perempuan itu. Aku sudah mengerti alasannya. meski dengan keihklasan yang tertunda.

Rabu, 22 Oktober 2014

Kapan Kau Pulang ?

Untukmu yang sedang mengembara di negeri antah berantah, sedang apa kau di sana? aku berharap kau tak pernah lupa jalan pulang.
Malam menunggu kita untuk kembali meringkuk dalam dinginnnya, dan hujan membutuhkan tafsiran baru atas perasaan yang sudah enam tahun silam kau lepaskan. Yang kau lihat sekarang hanya aku dengan sayatan luka lama dan terus mengobatinya dengan cuka. Bolehkah untuk kedua kalinya aku memahat namamu pada batang pohon beringin yang pernah kita tanam bersama?
Aku mulai tak percaya dengan kenyataan, aku mulai nyaman dengan alam bawah sadarku yang terus berkelana mencarimu. bahkan aku seperti hilang ingatan, saat ke-absurd-an ku mulai tak di mengerti oleh kebanyakan orang. Namun bagimu, aku tetap perempuan manis yang selalu pandai mengukir senyum di bibirmu, bukan?
Pertanyaan demi pertanyaan selalu aku sajikan demi sebuah jawaban, Kapan kau pulang? dengan kosakata dan intonasi yang sama, tak pernah aku lebihi atau sekedar aku kurangi. Bagaimana bisa kau menyimpan rindu itu sendiri? mungkin kau mulai belajar menjadi benda mati.
Simpel saja, hari ini ku kirimkan tiket kenangan kita untuk menjemputmu pulang. Semoga kau segera lepas landas dari dunia lama-mu yang kau sulap menjadi baru. Harus berapa lama lagi aku menahan rasa kantuk-ku hanya untuk sekedar menunggumu pulang. sudah seratus tujuh puluh tiga malam aku terjaga, takut-takut jika saja kau berubah pikiran dan pintu masih tertutup. Terbayang kan bagaimana besarnya kantung mataku, aku sendiri takut jika nanti orang mengataiku dengan mata panda. tapi buatmu, tak pernah ada yang di sesali.
Padahal sebenarnya aku tahu, bahwa kau tak akan kembali pulang. Tapi bukankah sudah ku bilang sebelumnya, buatmu tak pernah ada yang di sesali. sudah ku pertimbangkan masak-masak sampai nyaris gosong perasaan ini.
Untukmu rindu ini terus mengalir bersama sisa luka yang belum ku temukan obatnya.
selamat berjumpa lagi, meski dengan sapaan dan senyum yang berbeda.

Senin, 20 Oktober 2014

Seandainya aku bisa menulis takdirku sendiri

Seandainya aku bisa menulis takdirku sendiri,
nama yang akan ku tulis dalam buku muka hatiku adalah namamu

Aku selalu tahu luka akan terus mengendap, setiap kali ku ratapi tulisan itu yang masih terukir indah dalam buku diary-ku. Bagaimana jika kata 'seandainya' bisa di ganti dengan 'semoga'? apa kau setuju? setidaknya pengharapan baru yang lebih kuat muncul dalam kata itu. Yah pengharapan bersamamu, siapa lagi jika bukan kamu.
Bukankah aku dan kamu pernah menjadi 'kita'. Tidak bisakah mengulanginya bahkan jika hanya menjadi penyamar rasa yang semakin suram.
pasti kau berfikir aku sudah kehilangan kewarasanku. tidak..tidak, aku hanya sedikit berfikir bagaimana caranya untuk bisa membelokkan takdir, sama halnya ketika aku belajar mengendarai dan membelokkan sepeda pancal dulu, sesuai arah yang ku inginkan, mudah sekali kan?. 
Tapi hatiku ibarat white board dengan kesalahan penulisan namamu yang memakai spidol permanent, susah sekali untuk di bersihkan, bahkan ketika sudah terhapus-pun sisa coretannya masih tinggal dan membekas. Itulah kenapa hatiku masih terasa penuh.
kau tidak akan mengerti seberapa usahaku mencoba membelokkan takdir, berharap Ia benar-benar berbaik hati dan mendukungku. Tapi kau tahu, takdir ini sama halnya denganmu, terus mencandaiku tanpa jejak tawa yang mengembang.
Tak bisakah kau lihat jika ini lucu? perempuan yang kau pikir sempurna rasionalitasnya dapat menciderai otaknya sendiri hanya karena lima huruf yang berawalan C dan akhiran A.
Ah, sudah tak terpikirkan tentang itu, aku hanya ingin merajut bahagia bersamamu meski dalam ilusi. Sepertinya itu cukup membuat ku tenang.

Sabtu, 18 Oktober 2014

Sampul Biru

catatan itu, goresan pena itu .. yah aku ingat sekarang.. tapi entah, aku lupa tepatnya, tanggal berapa, jam berapa, menit dan detik ke berapa sungguh aku lupa, aku tidak bisa mengingat secara detail, otak ku sudah lumpuh untuk kembali mengingat itu.
Tapi hari itu, saat dimana catatan itu kau tulis, dan tulisan itu kau ukir dengan tinta mawar
aku masih mengingat isinya, ternyata otak ku belum benar-benar lumpuh dalam mengingat itu
dia masih bisa berfikir untuk hal-hal yang terasa pahit dan memilukan
bahkan tanpa kau suruh menghafal-pun aku masih ingat tiap abjad yang kau ukir dan tiap kata yang tersemat dalam buku bersampul biru.

nampaknya Tuhan tidak ingin membuang catatan itu dalam fikiranku secara sempurna, Dia ingin melakukan konsolidasi denganku, sebelum aku mengiyakan serta mengikhlaskan.
percuma saja, karena bagiku semua memang sudah tak penting lagi, dulu goresan itu ibarat lukisan dewa yang paling sakral sehingga tak ada yang boleh menjamahnya.
Haah terlalu berlebihan rasanya...

dan tinta mawar itu, sekarang kemana larinya??kemana dia membawamu pergi??
bukankah dia sudah tumpah menggenangi buku bersampul biru.
bahkan kau yang mengukir saja sudah tak paham apa maknanya, sudah tak hafal bagaimana mengucapkan mantranya.
bagaimana aku, yang baru mengerti sebagian kemudian harus tergores oleh tumpahan tinta mawar.
Oranglain bertanya-tanya, apa isinya, apa maksudnya, apa mantranya.
mereka bertanya kepadaku
Aku teramat polos menjawab "aku tak mengerti" "Coba tanya Dia"
Heee dan kau sudah berlari, ke tepi pantai dan kemudian senyap

Coretan yang utuh dalam sampul biru itu
pecah pixel-pixelnya hingga buram
Baguslah, setidaknya bisa segera di Enyahkan

Kamis, 16 Oktober 2014

Cinta yang Jatuh

Sebentar....
aku seperti susah bernafas, ini bukan ruang hampa udara kan??
baru saja aku menjemput khayalan, tapi namamu sudah di bersihkan oleh kain pel. kinclong, bersih dan tak bersisa.
di sini, tepat di ulu hati. Rasanya seperti infeksi lambungku kembali mengamuk, sakit sekali. Dan aku menangis. Hei ini sesak sekali, jantungku sepertinya mau bocor.

Kamu... tokoh pangeran dalam dongeng yang selalu ku baca sebelum tidur, aku khayalkan bersamaan dengan lengkungan senyum centil. Duniamu berbeda dengan duniaku, itulah mengapa sampai detik ini aku hanya mampu merapal namamu sejengkal di depan jidatku, tak ada keberanian meresapinya terlalu dalam.
barangkali ini sebuah cinta yang belum tersampaikan? utuh dan bulat seperti bulan purnama. Lalu apa yang harus aku lakukan pada bulan itu? melihatnya dalam-dalam sampai mataku lelah, meresapinya hingga basah pipi karena air mata. Sedang menggapainya rasanya tidak mungkin.

aku mulai menghitung kata demi kata yang pernah ku tulis khusus buatmu, ada sekitar seribu enam ratus tujuh puluh tiga kata. Dan sebanyak itu juga aku mengagumimu. namun sekarang menggumpal di penuhi sesak.
Kata orang, jatuh cinta itu indah? Ah bagiku ini cinta yang jatuh, sama kah? tidak..tidak, jelas tidak sama.
kau tahu, jatuh cinta kepadamu seperti mengaitkan diri pada ranting pohon yang tipis, aku lupa bahwa pijakanku terlalu tinggi dan genggamanku tidak sempurna. tenagaku seperti terkuras habis hingga keringat sebiji jagung jatuh satu persatu. Pada akhirnya aku terpelanting juga.
kau tak ingin bertanya, apa aku kesakitan? aku jawab saja 'beberapa bagian tubuhku tersayat, tapi tidak apa-apa. sebenarnya tidak sakit, sebelum hujan mengguyur seset kulitku'.

Aku perempuan kuat. Kuat?? lantas kenapa sekarang menangis?
tidak..tidak, aku menangis karena sudah terlampau jujur padamu. Jujur pada perasaan yang sungguh menggelepar ini. seperti inikah mencintai? sama sekali tak terpikir akan serumit ini.
Aku mengigau ya, ma'af jika terlalu lancang, aku hanya ingin jujur melalui tulisan ini. Bahwa aku telah...jatuh cinta, bukan.. tapi cinta ku yang jatuh. tak berkesudahan bagaimana perihnya.

Aku telah salah menjatuhkan cintaku padamu. dan aku gagal menghidangkannya dengan utuh. Tapi bukankah cinta tidak bisa memilih pada siapa ia akan hinggap.
Aku tak punya cara selain berlari. 
apa Kau ada ide, bagaimana mengeluarkanmu dari hatiku?

Rabu, 15 Oktober 2014

Memikirkan

Sering aku memintamu untuk bertukar perasaan denganku, bukan untuk apa-apa. hanya ingin memberitahumu tanpa harus berteriak, bagaimana rindu ini bisa bekerja begitu aktif hingga merusak sel-sel otakku.
memikirkanmu tanpa batas, membuat kepalaku seperti di hantam palu godam, pening dan nyeri. 
Lagi dalam beberapa kesempatan, kau selalu berhasil menyelinap masuk ke dasar pikiranku, saat kuliah, saat makan, minum, membaca buku, menunggu teman. hingga ku dapati sigapnya diriku mengetuk-ngetuk jari pada tuts-tuts laptop  menulis dongeng tentangmu. Harusnya kau bertanya dahulu, siapkah aku jika di jemput oleh kenangan lagi dan lagi.
jangan bertanya, bagaimana aku memulai hidupku kembali, setelah semua berhasil di renggut waktu. Aku memang sempat menangis, mengemis untuk bisa di kembalikan lagi. Tapi kau tahu, aku belajar untuk tidak menggenggam erat apa yang sudah ku punya. Karena Tuhan punya banyak skenario, dan yang aku genggam hari ini hanya skenario pengecoh yang suatu saat dapat di kibas oleh angin.

Sederhana saja, Sayang

Bagaimana kabarmu?
laki-laki yang belakangan ini telah mencuri sebagian perhatianku.
sudah lama aku tak menjumpaimu di dunia yang sudah mempertemukan kita.
bagaimana kabarmu?
laki-laki berhati dingin namun membuatku berkeringat sepanjang hari saat ku temui tatapan matamu
Bagaimana bisa aku mencintaimu, sedang menatapmu saja energi-ku terkuras habis.
Tuhan kadang lucu, memberikan pilihan sulit kepada manusia bahkan kadang pilihan itu tidak bisa di pilih.
begitu juga diriku, tak bisa memilih untuk menghindari mencintaimu. Katanya cinta itu fitrah? kata-kata ini sering kali aku dengar dari pemuka agama pada ceramah-ceramahnya, meski aku tidak tahu pasti apa itu maknanya.
mungkin tidak jauh-jauh dari Anugerah, karunia atau bisa saja Rezeki. Ah sudahlah. apapun itu, cinta tetaplah cinta dengan segudang pertanyaan besar pada dirinya.

Bukankah meski berbeda waktu, matahari juga mencintai bulan. Lihat saja pancaran sinarnya yang diberikan pada bulan, sehingga pada malam hari kita tak perlu takut kegelapan.
tapi tidak semudah itu sayang, pertemuan kita terlalu sederhana jika harus di padu-padankan dengan matahari dan bulan. Oh bukan, bukan kamu sayang, karena ternyata aku sendiri yang berfikir seperti itu. Lantas apakah perasaan ini hanya sepihak?
coba kau fikirkan lagi sayang, mungkin kau sedikit lupa karena terlalu banyak beban dalam hidupmu.
tapi katanya perasaan bukan pada pikiran, melainkan pada hati. Jadi siapa di sini yang salah.
Tidak sayang, katanya tidak ada yang patut di salahkan jika itu menyangkut perasaan. Itu yang sering aku dengar dari pujangga-pujangga kelas kakap yang karyanya sudah kenyang aku lahap.
nanti kau juga akan mengerti sayang, apa perlu aku beri satu cerita-cerita romantis yang pernah ku baca.
Namun, apakah dengan begitu perasaanmu bisa berubah?

Sederhana saja, aku selalu bermimpi menjadi perempuan biasa yang mampu kau cintai dengan cinta yang luar biasa.
hanya mimpi sayang, belum tentu akan terwujud, jadi kau tak perlu takut.
aku juga sudah siap, jika saja perasaan itu hanya semu.
aku tak akan kembali lumpuh seperti dulu-dulu.

Selasa, 14 Oktober 2014

Malam Minggu

Bagi kita malam minggu seperti malam-malam biasa, tidak ada yang spesial.
katamu, kita tak perlu ikut hanyut dalam atmosfer itu hanya untuk menunjukkan pada dunia bahwa cinta kita ada, bahkan kamu tak ingin menghabiskan waktu dengan percuma seperti halnya pasangan muda-mudi lainnya.
Cinta kita tak lagi muda, kita telah menghabiskan ribuan musim bersama, seperti halnya burung merpati yang tak pernah ingkar janji.
bahkan kamu lebih senang, jika kita menghabiskan malam minggu dengan bermunajat kepada-Nya, memohon keberkahan cinta kita. atau sekedar bercengkrama dengan ayah ibuku.
Teringat suatu hari, kamu mampu membuat ayahku yang begitu dingin tertawa hingga terlihat deretan giginya yang nyaris tanggal dan ibuku dengan senyum ramahnya menyambutmu dengan teh manis buatannya. sekalipun kamu tak pernah membelikanku seikat bunga.
kebersamaan kita selalu menyenangkan meski ruang waktu menjadi penguji kesetiaan kita, namun kita mampu bertahan hingga detak jarum jam seperti ingin menyerah.
Bagimu malam minggu sama seperti malam-malam berikutnya dalam seminggu.
karena cinta kita ada bukan hanya satu malam saja, namun juga di malam-malam selanjutnya, terus seperti itu. selamanya.

Dan ketika ku dengar sayup-sayup pembicaraanmu pada orang tua ku di malam minggu itu, tentang lamaranmu, tentang rencanamu menikahiku dalam waktu dekat, serta berbagai rencana lain yang telah kau susun begitu apik demi masa depan kita nanti, yang tanpa di suruh kau presentasikan di depan kedua orang tuaku. Sungguh kau tak perlu memberi aku mawar untuk sekedar membuat hati ku mewangi, dan kau juga tak perlu memberi aku sebatang coklat hanya untuk membuat hatiku meloncat riang. Keinginanmu untuk mempersuntingku yang kau utarakan lewat orang tuaku telah membuat hatiku bergetar dan luluh seluluh-luluhnya. aku menangis haru, dengan tetap memegang ujung gorden sebagai peganganku.
kau tahu, aku menjadi perempuan paling sempurna di malam itu, di cintai oleh sosok laki-laki sepertimu, yang keindahannya seakan takut untuk dinikmati oleh perempuan lain, kau tundukkan pandanganmu hanya untuk menjaga kesetiaanmu padaku. tak pernah terbayang olehku dapat bersanding bersama laki-laki yang belakangan ini mengintip malu dalam bunga tidurku, laki-laki yang sosoknya tak pernah aku impikan sebelumnya akan menjadi kekasih halalku serta menjadi ayah dari anak-anak ku.

Di saat para remaja sedang asyik bercumbu rayu dengan pasangannya masing-masing, di dalam keremangan malam dan kepekatan hubungan. Engkau justru datang ke rumahku, bertemu orang tuaku. dan dengan ksatria kau ungkapkan keinginanmu untuk segera menghalalkanku.
maka tak ada alasan lagi untuk menolak, jawabku 'iya' meski dengan tertunduk memegangi ujung kerudungku, aku takut kau melihat wajahku yang mungkin sudah berubah menjadi kemerahan 'mirip kepiting rebus'.

Dari situlah aku mulai menyukai malam minggu, meski setelah itu kau tak pernah datang lagi karena kesibukanmu yang harus menyelesaikan beberapa proyek di luar kota. meski kau tak pernah sekalipun mengajakku untuk bermalam minggu saat kau kembali dari pekerjaanmu, meski kau selalu menganggap tidak ada yang spesial di malam minggu. Meski katamu, kau tanpa sengaja melamarku di malam minggu. Tapi aku tetaplah perempuan, yang selalu pandai menyimpan kenangan meski hanya di sudut terkecil dalam pikirannya. dan kau melupakan satu hal tentang itu.
kita punya cara sendiri-sendiri untuk menikmati 'malam minggu'. Aku, Kamu dan Mereka

Senin, 13 Oktober 2014

Memulai

Aku selalu takut untuk memulai lagi, membagi kisah dengan orang lain, mematutkan harapan tinggi pada orang yang selalu aku pikir akan menjadi pendamping malam dan siangku. menjadi matahari meski mendung siap menanti dan menjadi bulan saat gemerlap cahaya nyaris redup.
apalagi ketika melihatmu seperti ini, entahlah seperti apa aku harus menggambarkan sosokmu.
tinggi, kurus, cerdas dan bermasa depan cerah. perempuan mana yang tidak luluh jika kau dekati.
Pernah suatu hari, ada yang bertanya pada mu tentang perasaan yang kau simpan untukku. Dan kau tak pernah bisa menjawab, selalu bungkam dengan alasan yang sama atau kadangkala hanya tersenyum simpul sambil berlalu. Bukan hanya hari kemarin saja, namun juga hari ini dan di hari seterusnya.
sepertinya perasaanmu perlu di timbang kadar beratnya, sehingga mengakuinya pada orang lain saja kau terasa berat. Mungkin kau takut jika orang lain tahu, bahwa kau menyimpan perasaan kepada perempuan biasa seperti aku. atau kau takut "pasaranmu turun" sebagai laki-laki keren di kalangan teman-teman perempuanmu.
itu lah yang membuat aku selalu takut memulai lagi sayang, memulai hubungan baru dengan orang lain, apalagi jika dia itu seperti kau. penuh dengan kesempurnaan.
Mungkin saatnya sekarang aku menyerah pada perasaanku dan kau juga harusnya menghentikan perasaanmu padaku.

Jumat, 10 Oktober 2014

Surat untuk Ibu

Aku dengar kabarmu sedang tak baik? apa itu benar ibu?
apa karena kota panas kita semakin panas, atau karena angin laut yang seringkali masuk jendela kayu rumah kita?
ibu, kau perempuan tangguh, bahkan besi saja kadang malu jika bersentuhan denganmu

aku dengar air matamu kembali merembes
mengapa kau menangis lagi? bukankah sudah ku katakan aku baik-baik saja
aku sudah sembuh ibu, makanan rumah sakit tak enak, rasanya "anyep", dan seperti di penjara pada tembok putih. kemerdekaanku terampas. Kau tenang saja, aku tak akan mengulanginya lagi.

lantas mengapa masih menangis? aku takut ibu.
bukankah selalu saja aku yang membuatmu menangis
gadis kecilmu ini sungguh nakal bukan.

aku teringat mukena yang kau hadiahkan untukku
indah sekali ibu, aku pakai khusus sholat idhul adha di hellypad kampusku
tapi aku tak sempat berfoto, padahal saat ku patut-patutkan diriku di cermin, aku begitu cantik berbalut mukena pemberianmu.
dan seperti tahu kebutuhanku, esoknya kau kirimkan aku sekantong besar daging kurban.
sempurna meski tanpa kau di sisiku

dan mukena yang kau beri, selalu menjadi penghantar doa-doa ku menuju Rabb-ku
seperti ada konduktor di dalamnya.
doaku bersenyawa untuk kesehatanmu dan ayah.
semoga sang khalik mendengarkan sayup-sayup rintihanku.

saat di telfon, dan aku bilang "kangen rumah, ingin pulang" sembari sedikit sesenggukan
sungguh tak bisa terhitung berapa jumlah partikel rinduku ini padamu.
lantas kau bilang "jangan nangis, anakku gak boleh nangis, nanti jelek matanya bengkak"
saat itu juga ku sambar tissue di meja belajarku.
aaah ibu, kata-katamu selalu berenergi
sepertinya cukup mendengar suaramu setiap hari, aku tak perlu suplemen untuk menopang tenagaku.

ibu, aku rindu bahumu.
sediakan tempat untukku kala ku pulang nanti

Kamis, 09 Oktober 2014

Surat Untuk Ayah

Senyummu mungkin sudah lusuh, berbalut keriput yang mulai kentara menghiasi wajahmu
ketampananmu juga mulai pudar, berhias sendu pada kedua bola matamu.
Ayah, semangat dan ketangguhanmu ternyata menular padaku
engkau tahu, anakmu ini selalu berhasil menghentikan gerimis dalam hidupnya.
pernah ada yang bertanya padaku "siapa cinta pertamamu?" aku jawab "ayahku". sungguh ayah, aku tak berbohong apalagi sampai menggombal. tak sampai hati ayah.
aku tidak tahu ayah, kemana lagi bisa ku temukan orang seperti dirimu, sepertinya hanya satu di dunia ini, sungguh engkau tidak mempunyai kembaran bukan?
kasar serta lebamnya tanganmu, menjadi pertanda betapa keras hidupmu
namun itu yang mengajarkanku banyak hal, tentang kehidupan dan perjuangan hingga di tahun ke-4 perkuliahanku, aku masih bisa tertawa di tengan kejenuhan diktat-diktat perkuliahan.
Di mata sebagian orang, katanya aku penuh ambisi.
tapi bagimu, aku tetap gadis manis yang masih suka merengek saat tak ada makanan di kulkas kan ayah?

di kota dingin ini, engkau tak perlu khawatir, aku selalu membawa jaket kemanapun,
aku juga tak pernah telat makan lagi
tapi aku sering begadang ayah, karena tugas-tugas kuliah yang menumpuk dan kadang-kadang tak bisa diprediksi, tapi tenang aku sudah cukup mengenal angin dan malamnya.

lantas, bagaimana kabarmu di kota panas kita?
aahh kota itu, meskipun panas tapi aku selalu merindukan angin lautnya.
aku dengar, sakitmu semakin bertambah, apakah benar ayah?
kata ibu, benjolan di lehermu semakin banyak bahkan sampai ke ketiak.
mengapa bisa seperti itu, sepertinya baru kemarin aku melihatmu tanpa beban, tanpa rasa sakit.
atau mungkin aku terlalu sibuk dengan duniaku dan tak sempat memperhatikan?
atau kau yang pandai menyembunyikan rasa sakitmu?
kadang tak percaya, laki-laki seperkasa dirimu bisa terkapar sakit
apalagi saat melihat potret masa mudamu, aaiiihhh macho sekali ayah.

21 tahun ini, aku sama sekali tak pernah mengatakan "aku mencintaimu"
tapi sungguh ayah, tanpa aku mengatakannya "aku sudah jatuh cinta padamu,semenjak aku tahu kau adalah ayahku".
aku selalu mencintaimu lewat doa, memohonkan kesehatan dan kelapangan rezeki untukmu.
bukankah kau ingin melihatku memakai toga?di wisuda?
di silangkan tali topi toga dari kiri ke kanan oleh pak rektor. iya kan ayah?
maka, tunggulah ayah
akan segera aku realisasikan permintaanmu itu.
sekarang aku sedang berjibaku, berperang dengan beberapa mata kuliah yang sudah, telah atau bakan belum aku tempuh.
tenang ayah, aku sudah mempersiapkan senjata.
tunggu saja aku di pintu sana, di ujung sana itu, aku akan membawa tanda kelulusan padamu.
jangan risau ayah, sejenak saja dan jangan bergeming dulu dari pintu itu, aku akan segera kembali.

Jika Tuhan mengajakmu, katakan pada-Nya bahwa kau sedang menungguku.
aku akan segera kembali ayah, aku berjanji padamu.

Minggu, 05 Oktober 2014

^_^

Mungkin jalan kita memang berbeda, jalan kita tak pernah bisa sama.
seperti itulah aku mengenalmu dulu, dan kamu juga pasti tahu bagaimana aku di matamu.
sesungguhnya setiap hari, kala aku bertemu dengan orang-orang baru di sekitarku bahkan mereka yang telah nyaris berhasil masuk dalam hidupku, aku merasa bahagia, merasa tentram dan merasa "berhasil" keluar dari sangkar bayang-bayangmu.
namun kamu tahu, tiba-tiba hatiku dipenuhi ragu, akhirnya aku kembali menepi, tak memperdulikan sekelilingku, aku memilih menjauh dari pusaran ombak, agar buihnya tak memercik masuk ke dalam bola mataku. mungkin aku yang terlalu takut merasa perih kembali, atau "kutukan" cinta memang hanya terpaut padamu?? namun aku tak yakin itu.
hari-hariku selalu tenang, sekalipun kamu sudah tak berada di sini, iya di sini "baik di hati maupun dipikiranku". aku tak pernah merasa sendiri, aku juga tak pernah merasa sepi karena aku tahu di mana aku bisa berlari dikala aku merasa sepi, dan mereka tak akan membiarkan aku menyendiri.
lantas bagaimana denganmu??aku rasa kamu tak punya pilihan lain, karena hidupmu selalu satu dan tanpa pilihan.
dan tahun-tahun berlalu, kabarmu tak pernah terendus angin. ku pikir kamu telah mati, atau telah menjelma menjadi bentuk yang lain. tapi tak mengapa, aku tak pernah lagi berfikir tentang kamu, bahkan aku telah meninggalkan segala bekas luka yang pernah kamu torehkan, dan aku bahagia, setidaknya luka itu bisa hilang meski aku tak terlalu memaksa untuk benar-benar menghilangkannya.
sepertinya hidup yang baru telah kamu jalani sekarang, mungkin kamu merasa bahagia sehingga angin saja tak rela mengusikmu atau bisa juga kamu sangat menderita sekarang, hingga angin pun merasa kasihan untuk menertawakanmu.
dan aku di sini, di tempat yang sama, di sudut yang sama namun dengan dimensi waktu yang berbeda, telah berhasil menyantap, melahap dan menelan segala kenangan kita (dulu). tanpa sisa dengan ludah yang tak pernah kering, mengunyah hingga hancurnya.
aku selalu berdoa pada Tuhan, untuk tidak mempertemukan kita lagi.
karena perjumpaan kita hanya akan membawa memori-memori usang yang tak layak di tayangkan kembali.
sudah cukup, karena detik ini aku sudah diam dalam kebahagiaanku sendiri.