Selasa, 30 September 2014

Last Moment

Sesekali rindu ini mengucur deras menjadi air mata.
perlahan...., namun kemudian berhasil membuat sungai-sungai kecil di ujung pipi kanan dan kiriku.


kisah syahdu yang pernah aku tulis bersamamu dengan beragam dongeng di bawah pohon bambu
kita bercerita riang layaknya anak kecil yang tak takut kehabisan permen
tentang hari ini, di mana kau menyuarakan ambisimu merubah dunia, kau membawa serta pendukungmu, ingin menjadi petualang sejati bersamaku.
kala esok masih bisa bertemu, dengan segala kesan misteri yang diberikan oleh hidup, kau berjanji dengan segenap perasaanmu bahwa tangan ini akan selalu menggenggam erat dan berjuang menembus asa.
kemudian di masa depan, saat jingga yang kemudian tertunduk malu, dan matahari takut-takut mengintip lewat jendela mendung, kau-pun tetap tersenyum cerah seraya berlalu sambil mengajakku berlari, seakan tak pernah takut seketika hujan akan menghentikan langkah kita.
dan pada hari di mana kita berlari bersama, membelah hutan, mencari tempat bernaung kala suara amukan singa mulai terdengar.
dan kau tetap tersenyum, meski kapanpun aroma kematian dapat kapan saja mencabik-cabik kita.
bahkan saat rumput liar menghalangi langkahmu, dan membuat jeda di antara kita, kau menyibaknya tanpa peduli akan begitu banyak yang terinjak.
sesampai di padang ilalang, ketika tawa tetap renyah menembus jantung dunia, kau dan aku kembali bernyanyi, menyanyikan segala macam bait sendu, hingga lenyap sudah ketakutan itu.
namun, setiap kali aku mengingat itu, kau tertegun tak menjawab.
Pikirku "mungkin saja kau lupa" dan aku kembali dengan senyum riangku.

sesampainya di pantai, ombak itu mengejarmu, dan kau tetap tersenyum seakan tak terjadi apa-apa.
lagi, dengan langkah gontai menghampiriku, isyaratmu mengajak-ku melawan ombak.
aku tertawa meng-iya-kan.
kemudian dengan cepat, ombak itu menyeret kedua kaki kita dan selanjutnya tubuh kita terhempas meninggalkan pantai, berdebum jatuh di antara karang-karang tepian pantai.
kau tersenyum girang, seakan tak takut karang itu akan melukaiku atau bahkan akan menusukmu dengan tajamnya.
aku-pun ikut tertawa, bahkan begitu lepas hingga mengalahkan kicauan burung yang sedang transit di bibir pantai.
namun, tiba-tiba senyummu menjadi amat getir.
saat aku tahu ternyata ada luka di tangan dan kakimu.
dan darah segar mengucur deras hingga melumpuhkan persendianmu.
aku mencoba menghentikan darahmu dengan kain perca milikmu, dan kau tetap tersenyum, bahkan kali ini lebih hidup.
dan kau tak pernah tahu, itu seperti meremukkanku dalam waktu yang sama.

saat ini, tanganmu sudah sembuh namun cacat sehingga kita tak bisa lagi saling menggenggam
dan kakimu, mungkin butuh sedikit di tuntun untuk tetap bisa melangkah.
ketika itu, kita sudah saling meninggalkan satu sama lain :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar