Minggu, 02 November 2014

26 Oktober 2014

Sulit mengawali tulisan ini, sulit memilih kata terbaik untukku persembahkan kepada beliau, seseorang yang jiwa raganya selama 21 tahun ini menjagaku dengan penuh seluruh.

Hatiku bergemuruh, protes kepada sang Illahi menanyakan keputusan sepihak-Nya yang tiba-tiba saja mengambil salah satu orang penting dalam hidupku. padahal setiap waktu doaku tak pernah berubah, selalu sama meminta agar sang Kuasa memberi kesempatan kepada beliau untuk terus bisa menatap pagi-nya, setidaknya sampai anak bungsunya ini memakai Toga wisuda, meraih gelar Sarjanaannya.
Dini hari itu, saat mata manusia masih enggan untuk menyambut Rabb-nya, Tiba-tiba banyak sekali yang mengirimiku pesan, yang bisa ku tarik kesimpulan "yang sabar, yang kuat". dan Tiba-tiba tangis ibuku menjadi-jadi sesampainya aku dari tanah rantau. pekik ku dalam hati "Ini yang namanya kehilangan? sungguh aku tidak pernah berfikir itu nyata" masih dengan kekuatan hati yang mencoba setegar karang, meski salah satu malaikat dalam rumahku sudah berpulang. 
Ku rapalkan berulang-ulang Al-fatihah tepat di depan wajah kakunya, entah berapa banyak tak terhitung jumlahnya, dengan tetap menahan agar air yang lahir dari mata ini tak luruh. Toh sama saja, menetes maupun tidak hati ini tetap pilu, gersang dan tersudut. Kembali aku di hadapkan pada pilihan takdir yang harus ku telan, tak peduli seberapa sakit dan seberapa perih lukanya.
Selalu seperti ini, aku tak pernah bisa menangis hebat di hadapan banyak orang, bahkan meneteskan air mata saja kadang masih terasa enggan, hingga banyak sekali yang memberikanku status "perempuan tangguh", aku tak meminta status itu dari orang lain, bukankah sudah ku katakan sebelumnya, menangis maupun tidak rasanya tetap pilu. meski demikian, saat itu aku tetap menangis. Namun segera ku hapus air mata itu sebelum ia sempat jatuh dan menggenang menjadi sungai-sungai kecil di ujung pipiku, aku harus mampu terlihat biasa demi menegarkan hati orang-orang di sekitarku, Ibuku dan Kakak-kakakku.
Dan sungguh hari ini, banyak sekali yang aku sesalkan. Menyesal karena tidak pernah secara gamblang mencurahkan cinta padanya, menyesal karena selalu menjadi anak nomor satu yang menyusahkannya, menyesal dengan setiap tingkah polah yang selalu membuat beliau jengah. Hingga Tuhan tahu, kenapa isakan ini terpendam dalam hati, terkunci rapat tanpa ada satu orang-pun yang mengetahui. karena terlalu banyak penyesalan yang terlambat untuk di publikasikan.

Ayah, sudah selesai, sudah berakhir penderitaan atas rasa sakitmu di dunia.
Ini mungkin jawaban terbaik atas doa-doamu dan jawaban terbaik pula atas doaku yang terlalu egois mempertahankanmu.
Ayah, bukankah sekarang engkau sudah tenang di sana, meninggalkan kami dengan khusnul khotimah dan bermain bersama ribuan malaikat syurga.
Lihatlah dari atas sana, aku di sini akan segera meraih gelar sarjana, dan menjadi seseorang yang mampu engkau banggakan. Kelak, meski usia tak lagi muda, aku akan tetap menebar tawa dan manfaat bagi orang-orang sekitar. Akan tetap tersenyum meski onak duri menyeringai perjalanan ini.
Ayah, bukankah ini perjalanan terbaik yang akan dilalui setiap manusia dalam hidupnya, lantas kenapa mesti berburuk sangka pada Rabb kita.

Ayah, aku pernah membaca novel yang di sana tertulis: Sebab, Pencipta dan roh manusia seperti halnya matahari dan pancaran cahayanya. Kembali pada pencipta adalah kerinduan, bukan kehilangan. Seperti musafir yang pulang ke kampung halaman.
kalau begitu, berbahagialah Ayah. karena kami di sini juga berbahagia dan melepas keikhlasan kami untukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar