Kamis, 23 Oktober 2014

P-e-r-e-m-p-u-a-n I-t-u

Perempuan itu, aku baru mengenalnya saat perayaan pernikahanmu. Cantik rupawan serta Anggun tutur katanya. pantas saja kau tak keberatan saat di minta untuk meminangnya.
Sekarang aku mengerti alasan Tuhan, mengapa Dia melepaskan pegangan kita yang dulunya begitu erat.
mengingat ini, seperti meneguk racun namun efek kematiannya begitu lama, perlahan menggumpalkan aliran darahku, mencekat pernafasanku dan pada akhirnya mematikan batang otakku.
hahah kau pasti sudah mendengar? entah dari siapa, mungkin saja teman-temanku. Tapi tenang, aku baik-baik saja.
Kau ingat tidak, dulu kau begitu marah saat ku singgung tentang perempuan itu, perempuan yang fisiknya tak ku kenali dan hanya mampu ku reka dalam lamunan. Dan yang lebih tak ku mengerti, Ia begitu lekat padamu, hingga mampu ku tangkap gelombang sinar matamu saat ku sebut namanya. Dalam sekali lubang yang kau gali untuk menyembunyikannya, tapi aku tetap bisa mengendus baunya.
Aku takut, jika Ia dengan cepat menyelinap dan merebut kembali hatimu. Atau jangan-jangan aku yang menjadi sekat antara kalian berdua.
Perempuan itu, yang bisa di bilang datang dari ruang yang kita sepakati bersama sebagai masa lalu, dan kau tak bisa mengusirnya, bahkan saat aku dan kau mulai menyatu. Jadi sebenarnya siapa yang datang terlebih dahulu? kenapa kau begitu sulit menjawab pertanyaan remehku? hingga akhir waktu benar-benar menguji kesetiaanmu.
Aku tak mengerti sungguh, kau membuatku bingung hingga sepucuk undangan sampai di rumahku, Aku anggap itu jawaban paling jelas atas pertanyaan ku dulu.
Perempuan itu, yang menyimpan cintanya dan khusus Ia persembahkan untukmu. Sebetulnya aku tak ingin menulis ini, karena aku-pun punya cinta yang sama untuk ku hidangkan padamu. 
Mungkin Tuhan punya perspektif berbeda, cinta mana yang lebih utuh? tidak..tidak, tidak bisa, karena cintaku jelas utuh. Mungkin cinta mana yang lebih dulu? Enak saja, bukankah sudah jelas, aku yang menggiringmu saat kau temui persimpangan, bukankah aku yang menggandengmu saat dunia mengacuhkanmu, dan bukankah aku pula yang merangkulmu saat tangismu pecah tanpa isakan.
Perempuan itu, kini berada dekat denganmu, dekat sekali, hanya sebatas kulit ari.
aku di sini, satu meter di depanmu, memandangimu hingga luruh air mataku, lumpuh syarafku, hingga tak ku rasakan lagi pijakanku pada tanah.
Tuhan kita tahu, mengapa harus perempuan itu. Aku sudah mengerti alasannya. meski dengan keihklasan yang tertunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar