Jumat, 10 Oktober 2014

Surat untuk Ibu

Aku dengar kabarmu sedang tak baik? apa itu benar ibu?
apa karena kota panas kita semakin panas, atau karena angin laut yang seringkali masuk jendela kayu rumah kita?
ibu, kau perempuan tangguh, bahkan besi saja kadang malu jika bersentuhan denganmu

aku dengar air matamu kembali merembes
mengapa kau menangis lagi? bukankah sudah ku katakan aku baik-baik saja
aku sudah sembuh ibu, makanan rumah sakit tak enak, rasanya "anyep", dan seperti di penjara pada tembok putih. kemerdekaanku terampas. Kau tenang saja, aku tak akan mengulanginya lagi.

lantas mengapa masih menangis? aku takut ibu.
bukankah selalu saja aku yang membuatmu menangis
gadis kecilmu ini sungguh nakal bukan.

aku teringat mukena yang kau hadiahkan untukku
indah sekali ibu, aku pakai khusus sholat idhul adha di hellypad kampusku
tapi aku tak sempat berfoto, padahal saat ku patut-patutkan diriku di cermin, aku begitu cantik berbalut mukena pemberianmu.
dan seperti tahu kebutuhanku, esoknya kau kirimkan aku sekantong besar daging kurban.
sempurna meski tanpa kau di sisiku

dan mukena yang kau beri, selalu menjadi penghantar doa-doa ku menuju Rabb-ku
seperti ada konduktor di dalamnya.
doaku bersenyawa untuk kesehatanmu dan ayah.
semoga sang khalik mendengarkan sayup-sayup rintihanku.

saat di telfon, dan aku bilang "kangen rumah, ingin pulang" sembari sedikit sesenggukan
sungguh tak bisa terhitung berapa jumlah partikel rinduku ini padamu.
lantas kau bilang "jangan nangis, anakku gak boleh nangis, nanti jelek matanya bengkak"
saat itu juga ku sambar tissue di meja belajarku.
aaah ibu, kata-katamu selalu berenergi
sepertinya cukup mendengar suaramu setiap hari, aku tak perlu suplemen untuk menopang tenagaku.

ibu, aku rindu bahumu.
sediakan tempat untukku kala ku pulang nanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar